BANDUNG-(IDB) : Tanggal 29 April 2013 merupakan hari bersejarah bagi proses penciptaan
PUNA. Sebab, mulai tanggal itu, BPPT menyatakan kesiapannya untuk
memproduksi pesawat tanpa awak tersebut secara komersial. Mereka siap
menerima pemesanan dari pihak luar.
Rilis PUNA yang diberi nama Wulung itu dilakukan oleh Kementerian Pertahanan bersama PT Dirgantara Indonesia (DI) sebagai pelaksana produksinya.
Para penggawa tim produksi PUNA Wulung pun bersorak kegirangan
menyambut babak baru industri kedirgantaraan Indonesia itu. Wajah kurang
tidur para pemuda dan profesor senior pun seketika berubah ceria usai
penandatanganan kerja sama komersialisasi PUNA.
Sembari memandangi pesawat dengan warna dominan biru laut yang sedang dipamerkan itu senyum cerah terus menghiasi raut wajah penuh kelegaan mereka.
Bagi tim PUNA Wulung, Inilah salah satu impian para ilmuwan BPPT, menghasilkan produk teknologi tinggi yang bisa dikomersialkan. Meski belum secanggih pesawat tak berawak bikinan negara maju, optimisme tetap membuncah.
Sekitar 50 orang anggota tim pengembang PUNA Wulung menyatakan kesiapannya untuk mengembangkan pesawat itu agar lebih canggih. Dengan harapan, pesawat itu akan digunakan untuk kepentingan militer Indonesia dan menjadi bagian alutista asli bikinan anak negeri.
Para anggota tim PUNA Wulung memang pantas berbangga. Hasil pengembangan bertahun-tahun mampu menghasilkan pesawat nir awak yang cocok untuk kondisi geografis Indonesia. “Kami tidak bisa melupakan jasa almarhum Prof Said,” ujar Kepala Program PUNA Joko Purwono.
Pengembangan PUNA di Indonesia memang tidak bisa dilepaskan dari sosok Prof Said Djauharsyah Jenie. Mantan Kepala BPPT itu merupakan perintis teknologi PUNA. Pada 1998, Said yang bermimpi Indonesia memiliki pesawat intai tak berawak mulai merekayasa teknologi dirgantara yang merupakan bidang keilmuannya.
Sayang, karena berbagai keterbatasan di BPPT kala itu, dia memutuskan menggandeng pihak swasta untuk mengembangkan PUNA. Krisis ekonomi dan kondisi politik pascareformasi sempat membuat proyek tersebut mandek. Akhirnya pada 2004 pengembangan PUNA dilakukan lagi.
Selama dua tahun, Said dan timnya fokus mengembangkan struktur ringan. Sejumlah uji coba pun dilakukan dan berakhir dengan kegagalan. Setelah ditelusuri, penyebabnya adalah bobot pesawat yang terlalu berat. Setidaknya ada dua prototipe pesawat yang gagal diuji coba meski berkali-kali dilakukan penyesuaian.
Rupanya, para ilmuwan pengembang PUNA yang berlatar belakang ilmuwan PT DI menyamakan struktur pesawat tersebut dengan pesawat komersial. Tidak heran beratnya berlebih dan gagal diterbangkan.
Mereka pun kembali berkutat di bengkel pembuatan pesawat tersebut, dan berhasil menciptakan prototipe ketiga yang mampu terbang.
Setelah menjadi kepala BPPT pada 2006, pucuk pimpinan program PUNA pun diserahkan kepada Joko. Dia mulai mengembangkan PUNA dalam hal konfigurasi. Selain itu, Joko menyetop pengembangan oleh swasta. Dia merekrut para sarjana dari berbagai universitas untuk mengembangkan PUNA.
Para sarjana fresh graduate itu tidak hanya berasal dari satu atau dua bidang teknik. Berbagai macam disiplin ilmu digabungkan dalam tim yang terdiri dari kombinasi para profesor dan para pemuda lulusan anyar yang terbilang masih ’’hijau” itu. bahkan, alumnus seni rupa pun menjadi bagian dari tim PUNA.
Anak-anak muda itu dilatih bahasa pemrograman, dan setelah mahir mereka diberi software sesuai disiplin ilmu masing-masing.
’’Mustahil PUNA dibuat oleh ahli di satu ilmu saja, semisal termodinamika,’’ tutur Joko. Setidaknya tim PUNA dibagi dalam tujuh kelompok yang memegang peranan penting. Mulai kelompok aircraft, avionic, hingga kelompok yang khusus menangani termodinamika. Berbagai rangkaian uji coba dan evaluasi pun dilakukan.
Masa-masa uji coba merupakan saat paling krusial. Para penggawa tim PUNA jarang tidur menjelang hari H. Mereka harus memastikan bagian sekecil apapun tidak ada yang cacat dan terlewatkan, dan pesawat dibuat sesuai prosedur dan cetak biru yang telah ditelurkan Prof Said.
Meninggalnya Said pada 2007 membuat tim PUNA terguncang. Mereka sempat menjadi anak ayam yang kehilangan induknya. Apalagi, kala itu dukungan pemerintah terhadap pengembangan PUNA masih belum 100 persen.
Mereka harus mengembangkan pesawat dengan kemampuan finansial yang terbatas. Rasa pesimistis mulai menjalari tim tersebut.
Untungnya, para pemuda itu cepat bangkit. Mereka kembali kepada jalan yang benar, dan mengembangkan PUNA hingga benar-benar laik terbang. Tidak hanya itu saja, Joko juga mulai memberikan materi komersialisasi teknologi agar hasil karya tersebut tidak sia-sia setelah berhasil terbang dengan sempurna.
Sejak tahun 2009, tim PUNA mulai mengembangkan segmentasi kebutuhan pasar. Dari situ, didapati jika dulunya Prof Said berkeinginan melayani kebutuhan TNI AU untuk mengawasi wilayah perbatasan.
Selain itu, teridentifikasi pula kebutuhan untuk mengawasi wilayah Indonesia yang rawan pembalakan liar dan kebutuhan akan hujan buatan.
Dari situ, rancangan PUNA terus disempurnakan hingga akhirnya menarik perhatian Balitbang TNI. Balitbang pun ikut serta dalam pengembangan PUNA, dan lahirlah Wulung. Spesifikasi pesawat tersebut dianggap cukup sesuai dengan kondisi geografis Indonesia.
Dengan bobot 60 kilogram dan bentang sayap 6,34 meter, PUNA Wulung memiliki jarak jelajah 200 kilometer di ketinggian 12 ribu kaki. Pesawat itulah yang pada 29 April lalu dinyatakan siap untuk dikomersialisasi melalui PT DI.
Meski begitu, saat ini tim PUNA Wulung sedang mengembangkan lagi pesawat tersebut. ’’Pesawat ini sekarang masih memiliki kemampuan 3,5 gravitasi. Kami sedang kembangkan agar memiliki kemampuan 7 gravitasi agar mampu menahan beban ratusan kilogram,’’ lanjut pria 58 tahun itu.
Potensi PUNA Wulung saat ini masih ada di level dua. Umumnya, pesawat militer tak berawak milik negara maju sudah ada di level tiga. Level tertinggi atau level empat yang mampu dicapai saat ini adalah kemampuan jelajah di atas 70 ribu kaki.
Menurut Joko, dengan potensi di level dua saat ini, PUNA Wulung sudah mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan negara. Terutama, dalam hal pengawasan illegal logging dan pembentukan hujan buatan. Justru jika ketinggian jelajahnya terlalu tinggi, dikhawatirkan wilayah Indonesia tidak bisa terekam sempurna akibat tertutup awan.
Joko menambahkan, dengan adanya PUNA, fungsi pengawasan oleh kapal dan pesawat berawak TNI AU bisa lebih efisien. PUNA bisa menggantikan biaya tinggi akibat pengawasan di wilayah perbatasan. ’’Dari satu kapal induk, PUNA bisa mengawasi lebih jauh namun dengan biaya lebih efisien,’’ tambahnya.
Sumber : Kaltimpost