Pages

Senin, April 22, 2013

Pindad Siap Luncurkan Tank Ringan Dan Medium Pertama Buatan Indonesia

BANDUNG-(IDB) : PT Pindad (Persero) akan meluncurkan kendaraan tempur roda rantai atau tank. Tank yang rencananya akan dirilis merupakan tank tempur tipe ringan atau light dan medium versi Indonesia. 

Hal disampaikan Kepala Departemen Produksi II (Divisi Kendaraan Khusus), Hery Mochtady kepada detikFinance di Kantor Pusat Pindad, Jalan Gatot Subroto, Bandung, Jawa Barat, Rabu (17/4/2013).

“Kalau light tank kita sudah punya prototype awal. Kalau medium kita masih tahapan konsep desain atau mematangkan desainnya seperti apa sih,” tutur Hery.

Untuk konsep tank versi light, Pindad mengadopsi tenologi dan desain tank jenis Scorpion buatan Inggris. Nantinya, tank ini, akan dikendalikan oleh tiga orang yakni bertindak sebagai commander, gunner dan driver.

“Kalau light tank itu skala Scorpion, kalau medium itu skala dengan Marder. Ke sana kita akan kembangkan. Kalau kelas heavy seperti Leopard sepertinya kita belum. Itu terlalu berat. Kita lebih cocok di medium tapi persenjentaan kita bisa pakai misil anti tank atau pakai 105 kaliber besar,” tambahnya.

Meskipun akan mengembangkan 2 tipe tank yakni tipe light dan medium. Kemampuan senjata, tetap bisa ditingkatkan atau mengadopsi kemampuan heavy tank seperti Leopard.

“Teknologi sudah berkembang, tank medium pun mampu membawa senjata dengan kaliber besar,” sebutnya.

Untuk komponen, Hery mengakui, pihaknya di Pindad tetap memprioritaskan komponen lokal. Namun, saat komponen tersebut tidak dijual atau dikembangkan di dalam negeri, pihaknya baru membeli dari luar negeri.

“Tapi secara realistis, kita masih terbatas untuk power pack, engine, transmisi, dan cooling. Kita belum ada yang supply. Kalau senjata kaliber besar, kita masih impor karena di dalam negeri belum ada. Tapi kita usahakan, setiap kegiatan development setiap. Kalau terpaksa dengan luar negeri, kita harus ada TOT (transfer of technology), apa yang bisa kita ambil dari sana. Minimal kita tahu, konsep desain dan kalkulisinya seperti apa,” tegasnya.





Sumber : Detik

Pindad, Pabrik Senjata Asli Indonesia Berkelas Dunia (3)

Malaysia & Singapura 'Kepincut' Panser Anoa Made in Bandung


BANDUNG-(IDB) : Tidak hanya TNI yang puas terhadap kemampuan varian Panser Anoa 6X6 produksi PT Pindad (Persero), negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia pun kepincut melihat penampilan dan keandalan Panser buatan Bandung ini.

Khususnya, saat Panser Anoa mendukung kontingen Indonesia yang bertugas sebagai pasukan penjaga perdamaian PBB di Libanon. Kedua negara tersebut kemudian menjajaki pembelian Panser Anoa dari Indonesia.

“Sebetulnya punya kita mirip dengan panser Prancis, VAB. Orang Malaysia lihat pertama di Libanon, Malaysia dan Singapura terkaget-kaget. Lihat ke sini. Hebat juga Pindad bisa bikin. Secara Internasional Indonesia diakui. Terutama dari asing,” tutur Direktur Utama Pindad, Adik Soedarsono di Kantor Pusat Pindad, Jalan Gatot Subroto, Bandung, Jawa Barat, Rabu (17/4/2013).

Dari sisi penampilan, Panser Anoa yang dibanderol mulai dari Rp 8 miliar per unit ini, tidak terkesan sebagai kendaraan perang yang offensive. Namun diasosiasikan kendaraan patroli yang ramah namun defensive. Hal ini menambah nilai plus Anoa sebagai kendaaran operasional pasukan penjaga perdamaian atau peace keeping.

“Dikirim ke Libanon sambil lihat bahwa panser ini tidak offensive. Panser kita paling favorit (Libanon). Ini untuk patroli. Ini tidak offensive hanya defensive atau perlindungan,” papar Staf Divisi Kendaraan Khusus, Sena Maulana.

Sekarang, Panser Anoa telah dirancang dan diproduksi sebanyak 7 varian yakni varian ambulance, angkut personel (APC), komando, logistik BBM, logistik munisi, mortir 80 carrier.

Ini Dia Humvee Versi Pindad si 'Komodo Tempur'
Sukses merancang kendaraan tempur jenis Panser Anoa 6X6, PT Pindad (Persero) kemudian mulai merancang kendaraan tempur ringan 4X4.

Pindad mulai merancang dan mengembangkan kendaraan tempur taktis mirip Humvee buatan Amerika Serikat (AS) sejak 2010. Dengan nama Komodo, kendaraan perang ini dirancang sangat modern nan lincah.

“Kalau kelas rantisnya seperti itu, baik rantis buatan Amerika atau Prancis, itu mirip-mirip. Secara ergonomis dan taktis, memang dibutuhkan dimensi seperti itu,” tutur Kepala Departemen Produksi II (Divisi Kendaraan Khusus), Hery Mochtady di Kantor Pusat Pindad, Jalan Gatot Subroto, Bandung, Jawa Barat, Rabu (17/4/2013).

Sementara itu, Direktur Utama Pindad, Adik Soedarsono menuturkan, lahirnnya Humvee versi Indonesia ini, bermula ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menantang Pindad. Presiden SBY, meminta Pindad untuk membuat kendaraan versi Humvee yang telah dibeli TNI dari Prancis.

“Kita sudah beli dari Prancis. Presiden bilang, Pindad bisa nggak bikin seperti ini. Kita bisa bikin dan kembangkan. Kita pakai komponen lokal kecuali drive line-nya. Dari mesin sampai putaran ke ban,” papar Adik.

Diakuinya, Komodo perang buatan Indonesia ini, mirip dengan Humvee buatan Amerika. Adik menjelaskan, Komodo perang versi Indonesia ini, dirancang dalam 7 varian.

Salah satu variannya ialah Battering Ram atau varian Pendobrak. Jenis ini, digunakan untuk pertempuran khusus dan aktivitas anti teror. Mobil yang dipesan secara khusus oleh Kopassus ini, mampu menabrak betok setebal 30cm dan dikendarai saat gelap karena menggunakan sistem kamera night vision.

Kendaaran ini juga, dilengkapi dengan peralatan elektronik dan komunikasi super canggih mendukung operasi khusus. Varian Komodo 4X4 antara lain: APC, Command, Recon, Ambulance, Battering Ram, Cannon Towing dan Rocket Launcher.



Humvee Made in Bandung si 'Komodo Tempur' Dijual Rp 3 Miliar/Unit


PT Pindad (Persero) telah memperkenal Humvee versi Indonesia yakni ‘Komodo Tempur’ sejak 2012. Dirancang di Bandung, Jawa Barat, kendaraan taktis ini dibanderol dengan kisaran harga Rp 2-3 miliar per unit.

“Konfigurasi harganya Rp 2 sampai Rp 3 miliar,” tutur Direktur Utama Pindad, Adik Soedarsono di Kantor Pusat Pindad, Jalan Gatot Subroto, Bandung, Jawa Barat, Rabu (17/4/2013).

Kendaraan taktis ini, dirancang dalam 7 varian. Harga pun menyesuaikan dengan keinginan user atau pengguna.

“Konsep 4x4 kita berikan konsep customizing. Customer ingin jeroannya Eropa tentu kasih harga lebih tinggi, customer bilang cukup produk lokal, bisa dengan harga lebih murah,” kata Kepala Departemen Produksi II (Divisi Kendaraan Khusus), Hery Mochtady.

Varian Komodo 4X4 antara lain: APC, Command, Recon, Ambulance, Battering Ram, Cannon Towing dan Rocket Launcher.



Kopassus & Brimob, Pengguna Pertama 'Komodo Tempur'

Pasukan elit TNI AD, Kopassus dan pasukan elit Polri, Brimob, merupakan konsumen pertama kendaraan taktis, Komodo 4X4 buatan PT Pindad (Persero). Diperkenalkan pada 2012, Humvee versi Indonesia ini, telah diproduksi sebanyak 5 unit.


“Kontrak dan delivery 5 unit yakni 2 unit untuk kopassus dan 3 untuk Brimob. Yang Brimob sudah delivery,” papar Staf Divisi Kendaraan Khusus, Sena Maulana di Kantor Pusat Pindad, Jalan Gatot Subroto, Bandung, Jawa Barat, Rabu (17/4/2013).


Untuk Komodo pesanan Kopassus, tim Pindad awalnya mendengarkan permintaan khusus tentang kebutuhan kendaraan taktis. Kemudian, Pindad menangkap keinginan Kopassus dengan membuat konsep kendaraan taktis Komodo versi Pendobrak atau Battering Ram.


Kendaraan ini, mampu menabrak beton setebal 30cm dan dikendarai saat gelap karena menggunakan sistem kamera night vision. Kendaaran ini juga, dilengkapi dengan peralatan elektronik dan komunikasi super canggih mendukung operasi khusus.


Selain itu, kendaraan ini, dilengkapi tangga khusus yang bisa naik ke badan pesawat untuk tujuan operasi anti teror anti pembajakan pesawat.


“Basic desain kita, kita wawancara, kita terjemahkan jadi bahasa produk. Ini bisa untuk operasi pembebasan sandra di kereta, hutan, gedung dan pesawat,” tambahnya.


Untuk Brimob, model kendaraan hampir serupa. Namun spesifikasi lebih sederhana. Karena Brimob memesan Komodo versi APC atau angkut personil.


Setelah dijual secara terbatas kepada Brimob dan Kopassus, ternyata respon terhadap Komodo Perang ini, sangat tinggi.


“Polisi (Brimob) pesan lagi 10 unit dan Arhanud (TNI AD) 50 unit,” paparnya.





Sumber : Detik

Pindad, Pabrik Senjata Asli Indonesia Berkelas Dunia (2)

Tentara AS & Australia Pakai Amunisi Buatan Bandung 

BANDUNG-(IDB) : PT Pindad (Persero) mampu memproduksi produk militer yang mengacu ke Eropa dan NATO (North Atlantic Treaty Organization). Dari standar yang dipakai, Pindad menghasilkan produk seperti senapan, amunisi dan kendaraan tempur militer berkualitas tinggi.

Kualitas produk Pindad, seperti senjata dan amunisi, telah diakui oleh militer di dunia. Seperti amunisi ringan buatan Pindad yang telah dijual ke negara ASEAN, bahkan hingga ke Amerika Serikat (AS) dan Australia.

“Peluru kebanyakan ke ASEAN semua sudah, 2012 kemarin sudah ke Australia dan Amerika tahun 2011. Itu untuk kaliber yang kecil-kecil saja. Itu artinya barang kita sudah ada yang mau pakai,” tutur Direktur Utama Pindad, Adik Soedarsono kepada detikFinance di Kantor Pusat Pindad, Jalan Gatot Subroto, Bandung, Jawa Barat, Rabu (17/4/2013).

Varian amunisi Pindad sangat beragam, mulai dari peluru kaliber kecil, peluru tajam, peluru kaliber besar, mortir dan granat. Selain amunisi, senapan Pindad juga telah diakui dunia. Bahkan senjata serbu buatan Pindad yakni SS1 berbagai varian telah digunakan di beberapa negara.

“SS1 Itu produk aslinya namanya FNC itu dari Belgia. Kalau mereka beli ke kita barangnya sama. Ada negara seperti Nigeria, itu sudah pakai FNC dari Belgia. Dia waktu mau nambah, dia minta tambahan dari kita,” tambahnya.

Saat ini, Pindad tengah menjajaki penjualan senjata ke beberapa negara termasuk ke Irak. Negara ASEAN seperti Malaysia dan Singapura juga berminat membeli Panser ANOA 6X6 dan kendaraan tempur Komodo 4X4.

“Semua sedang on proses. Kita contohnya mau ke Mozambik, kita ke Malaysia, ke Iran, Nepal,” tegasnya.

Pindad Mampu Produksi 40.000 Senjata Tiap Tahun

PT Pindad (Persero) telah mampu memproduksi puluhan tipe senjata. Dengan kapasitas saat ini, Pindad sanggup memproduksi 40.000 senjata api per tahun.



Hal ini diungkapkan oleh Kepala Departemen Produksi I Pindad, Diding Sumardi kepada detikFinance di Kantor Pusat Pindad, Jalan Gatot Subroto, Bandung, Jawa Barat, Rabu (17/4/2013).



“Kita bisa produksi senjata ekuivalen 40.000 SS2 per tahun. Itu bukan berarti SS2 saja,“ tambahnya.



Kapasitas produksi Pindad ini, didukung dari penambahan unit line mesin pembuat senjata. Kemampun ini diperoleh, pasca Pindad memperoleh Penyertaan Modal Negara (PMN) senilai Rp 300 miliar. Namun, Direktur Utama Pindad Adik Soedarsono mengaku, dari potensi tersebut sebetulnya belum digunakan secara maksimal.



“Pindad itu kemapuan besar kalau mau diberdayakan,” papar Adik.



Perlu diketahui, karena banyak pesananan, pembuatan senjata diproduksi selama 24 jam di pabrik Pindad yang terletak di tengah kota Bandung Jawa Barat. Dari Divisi Senjata, Pindad mampu memproduksi berbagai jenis atau varian senjata, antara lain: senapan serbu: SS1-V1, SS1-V2, SS1-V5, SS1-M1, SS1-R5, SS2-V1, SS2-V2, SS2-V4, SS2-V5, PM2-V1, PM2-V2, SPG-1A.



Senapan sniper: SPR-1, SPR-2, SPR-3. Senapan mesin: SM-3, SM2-V2, SM2-V1. Meriam: ME-105 mm Howitzer. Senjata genggam: Revolver, Pistol G2 Combat, Pistol G2 Elite, Pistol P3-V1. Peluncur Mortir: MO-1, MO-2, MO-3

SS2, Senjata Made in Bandung Pesaing AK47 & M16



PT Pindad (Persero) sejak tahun 2006 telah meluncurkan senapan serbu terbaru, SS2. Dibuat dengan 4 varian, SS2 buatan Pindad di Bandung ini, dirancang dengan konsep andal dan akurat.



Konsep ini, mengadopsi pada keandalan senapan serbu AK47 buatan Rusia dan keakuratan senapan serbu M16 buatan Amerika Serikat (AS). Bahkan, dari konsep awal, SS2 merupakan senapan serbu yang lebih unggul dan memiliki kemampuan di atas senapan AK47 dan M16.



“Keunggulan SS2 itu lebih ringan. Kita adopsi dari senapan serbu AK(47) dan M16 dari AR15 Italia. Kita adopsi. Mana yang terbaik kita ambil. Secara akurasi kita di tengah-tengah AK dan M16,” tutur Kepala Departemen Produksi I Pindad, Diding Sumardi kepada detikFinance di Kantor Pusat Pindad, Jalan Gatot Subroto, Bandung, Jawa Barat, Rabu (17/4/2013).



SS2 buatan Pindad ini, mengadopsi dari komponen senapan yang dimiliki oleh SS1. Saat ini, di dalam senjata serbu ini, memiliki 135 komponen atau lebih dikit daripada komponen SS1.



“Tapi yang ngadopsi dari SS1 sekitar 30 komponen. SS1 itu lisensi. Itu lisensi Belgia tahun 1988 kalau SS2 itu full kita sendiri dan hasil karya kita. Kalau SS2 baru tahun 2006 dan diproduksi dengan 4 varian,” tambahnya.



Selain unggul dari sisi konsep dan desain, SS2 made in Bandung ini, terbukti mampu unggul di dalam kejuaraan menembak militer level internasional. Dengan SS2, TNI mampu menjadi juara umum menggalahkan negara-negara ASEAN dan negara lain yang rata-rata menggunakan senjata jenis AK47 dan M16.



“Kejuaraan AASAM (Australian Army Skill At Arms Meeting) tahun 2012 di Australia, kita juara umum. Kita (TNI) pakai SS2 dan pintol G2,” tegasnya.



Saat ini, dengan 4 varian,SS2 dijual dari harga Rp 8 juta per unit. Varian yang ditawarkan antara lain: SS2-V1, SS2-V2, SS2-V4, SS2-V5.

Pindad Jual Senapan Sniper Ala Rambo

PT Pindad (Persero) mampu membuat senapan khusus untuk keperluan para penembak jitu alias sniper seperti yang tampak pada film Rambo IV. Penasaran seperti apa? Yuk, simak di sini.

Senjata tersebut muncul dalam film yang dibintangi aktor kawakan Sylvester Stallone dalam sebuah adegan operasi penyelamatan sandera. Salah satu anggota tim Rambo ada yang menggunakan senjata sniper jarak jauh.

Senjata jenis yang sama dipakai dalam film itu bisa ditemui di pabrik senjata milik Pindad. Dibuat di Bandung, SPR-2 buatan Pindad mampu menembak hingga jarak 2.000 meter atau 2 kilometer.

Kuatnya daya jangkau amunisi dan senjata SPR-2 ini karena menggunakan peluru kaliber 12,7 mm x 99 atau disebut kaliber 50 dengan kapasitas per magasin 5 peluru.

“Ini merupakan senjata Sniper terjauh buatan Pindad,” demikian disampaikan Kepala Departemen Produksi I Pindad, Diding Sumardi di Kantor Pusat Pindad, Jalan Gatot Subroto, Bandung, Jawa Barat, Rabu (17/4/2013).

Diding menuturkan, senjata ini dilengkapi dengan peredam dan mampu menembus baja setebal 2 cm. Harganya, dibandrol Rp 138 juta per unit.

Senjata ini, telah dijual sebanyak 110 pucuk kepada TNI termasuk untuk Kopassus TNI AD. Selain SPR-2, Pindad memproduksi varian lainnya yakni SPR-1 dan SPR-3, dengan daya tembak efektif 900 meter.
Sumber : Detik

Pindad, Pabrik Senjata Asli Indonesia Berkelas Dunia (1)

BANDUNG-(IDB) : Indonesia sudah punya pabrik pembuatan senjata dan amunisi sejak zaman kolonial Belanda. Pada tahun 1983, di bawah pengelolaan dan penugasan BJ Habibie kala itu, PT Pindad menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). 

Akhirnya, Pindad menjelma menjadi prosuden senjata dan amunisi kelas internasional yang berkiblat ke Eropa dan NATO (North Atlantic Treaty Organization). detikFinance memperoleh kesempatan untuk melaksanakan wawancara khusus terhadap Direktur Utama Pindad, Adik Soedarsono serta berkunjung dan berkeliling untuk melihat proses produksi produk-produk unggulan di pabriknya yang terletak di tengah-tengah kota Bandung, Jawa Barat.

Saat ini, Pindad memiliki 2 lokasi pabrik yakni di Turen, Malang, Jawa Timur seluas 160 hektar yang memproduksi berbagai macam amunisi atau eksplosif, serta di Bandung seluas 66 hektar yang fokus di bidang mekanik.

Di Bandung, detikFinance memperoleh penjelasan dan melihat proses pembuatan berbagai jenis produk senjata dan kendaraan tempur unggulan Pindad seperti Panser ANOA 6X6, Mobil Tempur Komodo terbaru hingga berbagai jenis senapan serbu.

Namun untuk masuk ke area pabrik, prosedur ketat harus dilalui, yakni didampingi oleh seorang petugas keamanan dan dilarang mengambil gambar pada area tertentu. Hal ini disampaikan oleh Humas Pindad yang mendapingi berkeliling pabrik.

“Mas, di sini (proses perakitan) nggak boleh foto ya, nanti ambilnya waktu produknya sudah jadi dan mohon izin sama penanggung jawab bengkel dulu,” tutur Ami kepada detikFinance, di Kantor Pusat Pindad, Jalan Gatot Subroto, Bandung, Jawa Barat, Rabu (17/4/2013).

Saat masuk di area Divisi Kendaraan Khusus/KFK, tampak para pekerja sedang sibuk merakit kerangka Panser ANOA dari lempengan baja untuk dirangkai menjadi bodi utuh. Ketika berpindah ke gedung tempat ANOA diselesaikan, staf Divisi Kendaraan Khusus, Sena Maulana memaparkan tentang asal muasal produksi ANOA hingga produk terbaru dari divisinya yakni kendaraan tempur bernama Komodo atau Humvee versi Indonesia.

Dengan rinci dan tenang, pegawai muda Pindad ini, menjelaskan proses awal dari ide hingga produk kendaraan berhasil diproduksi di Pindad. Bahkan ia mengaku ada rencana Pindad untuk meluncurkan tank tempur pertama Indonesia.

“Kita akan luncurkan prototype tank jenis light (ringan), yakni pengembangan panser dengan roda rantai,” tambahnya.

Usai memperoleh penjelasan cukup panjang dari Sena, detikFinance dan staff Pindad yang mengiringi berkeliling pabrik, menggunakan mobil kemudian berlanjut ke gedung produksi dan ruang pamer senjata.

Setelah sampai di area Divisi Sejata, meskipun didampingi oleh pegawai Pindad dan petugas keamanan, kami harus melewati beberapa gerbang khusus berlapis dan pengecekan keamanan super ketat. Bahkan tidak sembarangan pegawai Pindad bisa leluasa lalu lalang memasuki area ini.

Pengamanan tertinggi memang berada di area Divisi Senjata. Namun prosedur tetap harus dilewati. Sesampainya di area Divisi Senjata, Kepala Departemen Produksi I, Diding Sumardi bertugas memberikan penjelasan dan mendampingi detikFinance melihat proses produksi.

Di bagian produksi senjata ini, Diding menjelaskan pegawai bekerja hampir 24 jam karena banyaknya pesanan. Hal ini terjadi juga, pada Divisi Amunisi yang terletak di Turen Malang. Pria paruh baya ini bertutur, Pindad telah mampu memproduksi puluhan jenis senjata mulai senjata serbu versi terbaru hingga senjata mesin berat, meriam dan sniper jarak jauh.

Dengan kemampuan mesin dan produksi terbaru dari dana suntikan Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp 300 miliar, Pindad telah mampu memproduksi hingga 40.000 senjata per tahun.

“Kita bisa produksi senjata ekuvalen 40.000 SS2 per tahun. Itu bukan berarti SS2 saja, “ tambahnya.

Dirut Pindad menuturkan, saat ini, dengan 4.000 karyawan, Pindad telah memperoleh banyak pesanan dari TNI meskipun potensi dan kapasitas Pindad belum tergarap maksimal. Bahkan, secara bisnis dan keuangan, Pindad dipandang telah bankable oleh perbankan.

Terkait prosedur keamanan yang sangat ketat dan berlapis, Adik mengaku, prosedur ini ditempuh karena pihaknya belajar dari kasus pencurian senjata yang pernah dilakukan oleh oknum pegawai Pindad. Sehingga ini merupakan bentuk pencegahan.

“Habis itu, kita perketat. Ada orang yang bisa masuk ke darah mana dan ada yang nggak bisa. Dari pagar bikin berlapis-lapis. Pasang CCTV. Sekarang kunci dipegang beberapa orang. Kita pisahkan sekarang mana, spare part dan barang siap jual. Dulu kita samakan. Sekarang kita pisahkan. Peti kita segel. Dulu kita yang belum jelas, peti dibuka. Sekarang ada preventive,” tegasnya.

Peran Besar Habibie & JK Bangkitkan Pabrik Senjata RI


Kebangkitan pabrik senjata dan kendaraan tempur pelat merah, PT Pindad (Persero) tidak lepas dari pengaruh dua orang. Keduanya adalah mantan Presiden Republik Indonesia (RI) BJ Habibie dan mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla (JK).

Pada 1983, Habibie membangun dan meletakkan konsep pengembangan industri senjata dan produk non senjata. Hingga kemampuan Pindad lebih banyak berkiblat pada Eropa. Hal ini diakui oleh Direktur Utama Pindad Adik Soedarsono.

“Waktu kita dikembangkan oleh Pak Habibie tahun 1983, selain diberikan teknologi militer, kita juga diberikan teknologi komersial. Pak Habibie, itu pandangannya panjang, orang belum mikir ke sana dia sudah mikir. Nah, akhirnya, setelah kita rasakan sekarang, yang mampu hanya kita pak,” tutur Adik kepada detikFinance di Kantor Pusat Pindad, Jalan Gatot Subroto, Bandung, Jawa Barat, Rabu (17/4/2013).

Kemampuan merancang produk non militer atau senjata seperti peralatan kereta api dan generator listrik yang dipersiapkan oleh Habibie kala itu. Sekarang terbukti manfaatnya bagi Pindad.

Untuk komponen khusus seperti Brake Coupling untuk kereta atau generator listrik, di Indonesia hanya Pindad yang mampu memproduksinya. Di samping Pindad tetap unggul dalam memproduksi peralatan militer seperti kendaraan tempur, senapan ringan hingga berat dan amunisi.

“Teknologi kereta api juga, di kereta ada air brake, ada lintasan. Gerbong kereta api ada sisi remnya, itu hanya Pindad yang bisa bikin terus ada juga motor traksi di KRL. Itu yang bisa, kita juga,” tambahnya.

Selain Habibie, ada satu sosok satu lagi yang merupakan titik balik penyelematan dan pengembangan Pindad dari masa susah pasca krisis ekonomi 1998. Pasca krisis, selama kurang lebih hampir 10 tahun, kemampuan Pindad kurang diberdayakan padahal potensi sumber daya manusia dan kapasitas produksi Pindad sangat mumpuni.

Ketika Jusuf Kalla tahun 2007 masih menjadi Wakil Presiden Indonesia, datang ke kantor Pindad di Bandung. Di sana, JK melihat potensi Pindad yang besar namun kemampuannya tidak digunakan secara maksimal.

Akhirnya, JK kala itu, memberi order senilai Rp 1 triliun lebih untuk membuat Panser ANOA 6x6 bagi TNI. Disitulah titik awal kebangkitan Pindad pasca krisis ekonomi 1998.

“Di jaman susahnya, Pak JK datang ke sini tahun 2007. Memberikan pekerjaan ke kita yang mana TNI kala itu tidak memberikan. Itu proyeknya senilai Rp 1,129 triliun. Beliau ke sini lihat kemampuan kami, lihat ada satu peluang. TNI butuh produk (panser). TNI bilang butuh barang itu, tapi (JK) nggak bilang beli dari Pindad. Oke, saya beli kasihin ke TNI. Jadi waktu TNI dikasih perintah itu, TNI berpikir barangnya bagus atau jelek. Dia nggak tahu dan dia dikasih barang itu (Panser ANOA),” katanya.

Berawal dari pesanan sekala besar melalui perantara JK saat itu, dari awalnya TNI kurang percaya terhadap Panser ANOA, kemudian berujung pada kepuasan terhadap Panser ANOA.

“Ternyata setelah pakai itu suka. Sekarang sudah dipakai 150, serta total sudah 280 (pesan). Tapi sudah deliver 230 ANOA,” tegasnya.

Dulu Diragukan, Pindad Kini Hasilkan Senapan Standar NATO

 

Pasca begulirnya Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 42 Tahun 2010, industri pertahanan tanah air seperti memperoleh angin segar. Salah satunya PT Pindad (Persero).

Dari produsen senjata dan amunisi yang kurang dipercaya kemampuannya selama puluhan tahun, serta di dalam negeri produknya dipandang sebelah mata, Pindad kemudian mampu menjelma menjadi produsen produk militer kelas dunia.

“Kalau dulu yang terkenal amunisi dan senjata tapi dia (TNI) nggak mau lihat lagi, Pindad bisa bisa bikin lebih dari itu,” tutur Direktur Utama Pindad, Adik Soedarsono kepada detikFinance di Kantor Pusat Pindad, Jalan Gatot Subroto, Bandung, Jawa Barat, Rabu (17/4/2013).

Dengan visi ingin melayani TNI dan Polri, Pindad mampu memproduksi senjata,amunisi hingga kendaraan tempur kelas ringan dan berat yang mengadopsi dan berkiblat ke industri militer Eropa dan NATO (North Atlantic Treaty Organization).

“Kita kualitas Eropa dan Standar NATO. Kita mengkualifikasikan dan mengikuti kaidah NATO. Tapi kita nggak disertifikasi nanti produknya mahal jadi kita nggak diujikan. Standar seperti itu, karena yang ngajarin kita itu orang NATO,” ujarnya.

Berkat kualitas dan standar tinggi yang dipakai Pindad, dampaknya pada pesanan yang diperoleh. Pindad sampai harus menolak berbagai order untuk produk tertentu.

Bahkan divisi senjata dan amunisi harus bekerja selama 24 jam setiap harinya untuk memenuhi permintaan dari dalam dan luar negeri. Karena kemampuannya ini, produk senjata dan amunisi Pindad diakui hingga negara ASEAN dan Amerika Serikat (AS).

“Tahun 2012 kemarin sudah ke Australia dan Amerika tahun 2011 (Amunisi). Itu untuk kaliber yang kecil-kecil saja. Setidaknya dia mengakui kualitas kita,” tambahnya.

Bahkan panser asli buatan Pindad ANOA 6x6 yang kini menjadi salah satu pilihan dan andalan TNI, mengadopsi teknologi dan konsep panser VAB buatan Prancis.

Sementara, senapan serbu SS2 buatan Pindad mengacu pada senapan M16 buatan Amerika Serikat dan AK 47 buatan Rusia. Serta PM2 versi Pindad mengadopsi senapan anti teror MP5, pasukan SWAT.





Sumber : Detik

Satgasmar Ambalat XV Tiba Kembali Dari Daerah Penugasan



SURABAYA-(IDB) : Satuan Tugas Marinir Ambalat XV yang telah melaksanakan tugas didaerah perbatasan Indonesia – Malaysia selama kurang lebih enam bulan, tiba di Markas Brigif-1 Marinir Gedangan, Sidoarjo, Minggu, (21/4).


130 prajurit Korps Marinir TNI AL yang tergabung dalam Satgasmar Ambalat XV dengan Komandan Satgas Kapten Marinir Hendro Paat tersebut kembali dari daerah penugasan pulau Sebatik, Kalimantan Timur dengan menggunakan KRI Teluk Parigi-539.





Setelah sampai di Markas Brigif-1 Marinir Gedangan, Sidoarjo, dilanjutkan dengan pemeriksaan/sweeping yang dilakukan oleh personel dari Denprov-1 Mar dan jajaran Sintel Pasmar-1 yang dipimpin oleh Mayor Marinir Yosafat R.H.


Usai pelaksanaan sweeping dilanjutkan dengan pemeriksaan kesehatan/urikes di balai kesehatan Yonif-3 Mar dari tim kesehatan Rumah Sakit Marinir Gunungsari, Surabaya. 



 
Sementara itu Komandan Satgasmar Ambalat XV Kapten Marinir Hendro Paat mengatakan selama melaksanakan penugasan di perbatasan Indonesia – Malaysia, personel yang tergabung dalam satgasmar Ambalat XV menempati beberapa pos yaitu Sei Pancang, Sei Taiwan, Balansiku, Sei Bajau, Tembaring, Bambangan dan Nunukan.





Sumber : Kormar

Bangkitnyan PT. DI Pabrik Pesawat Terbang Kebanggan Indonesia

  Dulu sempat produksi panci untuk bertahan hidup, kini bersiap bangkit.  

 Budi Santoso, Dirut PT. DI
Sebuah pesawat CN 235 Maritime Patrol (MPA) pesanan TNI Angkatan Laut terparkir di hanggar PT Dirgantara Indonesia (PTDI). Berkelir hijau, pesawat itu baru saja lulus uji coba terbang selama satu jam di langit Jawa Barat awal April 2013 lalu.

Para teknisi PTDI berkerubung di pesawat seharga US 21,5 juta per buahnya itu. Burung besi produksi PTDI bekerjasama Airbus Military itu hendak diperkuat dengan radar pengintai lautan, dan kamera beresolusi tinggi.

“Radar itu dapat melihat hingga 200 meter di bawah permukaan laut,” kata mantan Kepala Humas PTDI, Rakhendi Priatna yang menemani VIVAnews berkeliling di pabrik pembuatan pesawat PTDI, di lahan seluas 80 hektar, awal April 2013 lalu.


Di belakang CN 235 MPA, tampak antri dua pesawat lainnya. Semua menunggu kelihaian tangan para teknisi. PTDI memang saat ini tengah kebanjiran berbagai pesanan pesawat, khususnya CN 235. Pada 2012, PTDI berhasil membuat empat unit CN 235, dua unit NC 212, dua unit Super Puma, satu unit CN 295 dan 12 unit Bell 412.


Setelah terpuruk dihajar badai krisis moneter 1997, perusahaan itu kini mencoba bangkit. Hanggar yang dulu sempat sepi, kini ramai dengan beragam pekerjaan. Order mengalir, dan rezeki pun tumpah. Setelah merugi sembilan tahun, baru pada 2012 perusahaan menangguk laba.

Terakhir, rapor keuangannya biru pada 2002, dengan laba bersih Rp 11,26 miliar. Setelah itu, kantong PTDI pun kempis. Hutangnya seawan, dan nyaris kolaps. Sekitar 16 ribu karyawan dipecat, dan hanya tersisa 4.000. Para insinyur terbaik pun hengkang ke berbagai pabrik pesawat dunia.


Lebih tragis lagi, perusahaan perakit pesawat itu sampai terpaksa membuat panci agar bisa bertahan hidup. “Sepanjang 2003 hingga 2007 PTDI ini tak pernah tutup buku. Sehingga kami harus mulai tutup buku 2003-2007,” kenang Direktur Utama PTDI, Budi Santoso.


Budi bukanlah orang baru di PTDI. Ia bergabung sejak 1987, saat masih bernama IPTN. Pada 1998 lalu, ia pindah menjadi Direktur Utama PT Pindad, dan berhasil. Pada 2007 lalu, doktor ilmu robotika dari Katholieke Universiteit Leuven, Belgia, ini diminta pemerintah membenahi PTDI.


Saat ia baru memimpin, Budi dicegat oleh banyak persoalan. Ribuan bekas karyawan berdemonstrasi menuntut pesangon. Dan soal itu terus menguras energinya. Ditambah beban hutang, khususnya hutang kepada pemerintah yang mencapai Rp 3,8 triliun. Kas keuangan PTDI kandas saat itu.


Dia lalu membereskannya tahap demi tahap. Pada 2009, semua urusan masa lalu itu kelar. Setelah diaudit BPK, instansi pajak, dan berbagai lembaga, utang ke pemerintah itu pun beres. “Kami minta utang kepada pemerintah dikonversi menjadi modal. Duitnya sih tidak ada, hanya di atas kertas. Tapi ia tidak menjadi beban keuangan PTDI,” katanya.


Tangan dingin Budi Santoso perlahan menuai hasil. Pada 2012 lalu, perusahaan membukukan laba bersih sekitar Rp 40 miliar, dengan pendapatan Rp 2,68 triliun. Pendapatan terbesar disumbang oleh pembuatan pesawat sebesar Rp 2,3 triliun, manufaktur komponen Rp 236 miliar, jasa teknisi dan alutsista Rp 65 miliar, dan dari perawatan pesawat Rp 104 miliar.


Tiga langkah   

CN235 MPA TNI AL  
Beresnya utang masa lalu itu, kata Budi Santoso, menjadi titik balik PTDI. Pada akhir 2011, mendapatkan kucuran dana Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp 2,06 triliun. Direksi tidak menyia-nyiakan dana itu, dan langsung memakainya untuk modernisasi mesin, hanggar dan sumber daya manusia.

Direktur Niaga dan Restrukturisasi, Budiman Saleh menjelaskan PTDI telah mengalokasikan Rp 270 miliar membeli berbagai mesin produksi serta membenahi dan membangun hanggar baru senilai Rp 140 miliar. Nantinya, PTDI akan mempunyai dua hanggar perakitan pesawat.


Satu hanggar baru tersebut baru akan beroperasi pada Semester I 2014, dan mampu merakit pesawat besar seperti CN 295.


Tiga langkah restrukturisasi pun dilakukan. Pertama, pada fase darurat, selama 2011-2012, dibenahi kondisi internal. Kedua, adalah tahap stabilisasi pada 2012-2013. Pada fase ini perusahaan melakukan berbagai investasi dan revitalisasi. Terakhir, diharapkan pada 2015 ke atas, PTDI diharapkan lepas dari ketergantungan pada pemerintah.


“Saat ini kami sedang dalam tahap fase kedua. Kita lakukan pencarian pendanaan untuk permodalan, pemetaan pasar dan persiapan produk baru seperti N 219,” kata Budiman.


Saat ini, untuk bergerak perusahaan memang tergantung pada rezeki dari pemerintah. Misalnya, PTDI meraup kontrak hingga Rp 7 triliun hingga tiga tahun mendatang, sebagian besar dari Kementerian Pertahanan. Tapi setelah itu, PTDI diminta untuk mandiri.


“Kami perlu hidup. Bisnis pesawat terbang bukan sesuatu yang instan,” kata Budi Santoso.


Bantuan itu, kata Budi, penting. Ia seperti efek bola salju. Konsumen melihat perusahaan mulai bangkit, dan tanpa diundang, mereka datang ke pabrik dan melakukan kerjasama. “Lima tahun lalu, saat saya pertama kali menjadi Direktur Utama, hal ini tidak pernah saya bayangkan,” katanya.


Menggandeng Airbus 


Salah satu kunci keberhasilan PTDI adalah belajar dari kesalahan masa lalu. Sewaktu masih bernama IPTN, perusahaan ini “jor-joran” mengembangkan berbagai macam pernik pesawat walaupun tidak ekonomis. Insinyur mereka waktu itu sangat menguasai teknologi, tapi tidak mengerti ilmu marketing.

“Ternyata, mengerti teknologi saja tidak cukup. Bagian lain adalah menguasai pasar, kami tidak pernah pelajari hal tersebut,” kata Budi.


Jalan lain mendongkrak kembali perusahaan yang “pingsan” sejak krisis 1997 lalu adalah usaha menggandeng industri penerbangan lain yang telah berkibar, yaitu Airbus dan Boeing. “Dua-duanya kami jajaki,” ujar Budi.


Namun, yang terdekat adalah EADS, perusahaan yang termasuk grupnya Airbus. Secara sejarah, PTDI lebih dekat, meskipun dulu mereka pernah punya hubungan dengan Boeing.


Cara ini, kata Budi, lebih efektif. Soalnya, membuat pasar baru membutuhkan waktu hingga puluhan tahun. PTDI tidak mungkin menanti selama itu, bisa keburu mati. Cara PTDI mirip seperti yang dilakukan Lenovo dan IBM. “Lenovo dahulu menggunakan merek IBM hingga orang-orang sadar IBM itu Lenovo. Sekarang Lenovo tidak memakai nama IBM namun tetap laku,” katanya.


Cara ini mulai membuahkan hasil. PTDI kini menerapkan standar administrasi hingga membuat pesawat, yang sesuai standar Airbus, baik EADS Airbus dan Airbus Military, membantu dari teknik hingga non teknik. Per tahun, PTDI mendapatkan kontrak Rp 180-200 miliar. Dengan bekal inilah, PTDI bertekad membuat pesawat asli Indonesia.


Selain dengan EADS, PTDI juga menjalin kerjasama dengan Eurocopter Family yang juga dibawah EADS untuk membuat body helikopter MK II, yaitu tailboom dan fuselage senilai Rp 5 miliar. Selain itu PTDI juga menjadi subkontrak CTRM dan Korean Air senilai Rp 10 miliar.


Berbagai pesanan inilah yang membuat para karyawan PTDI bergairah. Saat ini, pabrik PTDI berjalan dua shift. Pada shift malam mereka akan mengejar produksi jika terjadi masalah di dua shift sebelumnya. Saking penuhnya order, PTDI tidak berani mengambil pekerjaan lagi. Kapasitas produksi perusahan itu sudah penuh.


“Maka, kalau ada yang bilang kami menganggur, itu salah. Dengan modernisasi saat ini, PTDI 2-3 kali lebih produktif dari yang lama,” katanya.


Jet tempur 


Mesin-mesin buatan Jerman, Italia dan Taiwan terbaru sejak 2012 lalu telah hadir di pabrik PTDI. Mesin CNC (Computerized Numerical Control), di antaranya Quaser MV 18C, Haas VF6-50, Haas VR 11 B Deckel Maho DMU 100 mB, dan mesin Gantry Jobs LINX30 serta Gantry Matec 30 P membuat semangat baru bagi para teknisi. Urusan produksi menjadi lebih cepat.


Meski begitu, kapasitasnya belum setara dengan pabrik besar seperti Airbus. Untuk membuat sebuah pesawat dari nol hingga bisa terbang PTDI membutuhkan waktu 8-12 bulan. Sementara Airbus dan Boeing, rata-rata hanya butuh dua pekan. Dengan mesin baru, waktu produksi diharapkan bisa diringkas menjadi dua bulan.


Bermodal mesin itu pula, perusahaan yakin dapat meraup laba lebih besar. Pada 2013 ini PTDI menargetkan pendapatan sebesar Rp 3 triliun, dengan target laba bersih Rp 60 miliar. Pada 2012 laba tercatat Rp 40 miliar. Perusahaan kini mulai percaya diri, misalnya meminjam dana ke Bank sebagai modal kerja.


Secara potensial, PTDI masih bisa mengembangkan CN-235 menjadi CN-234 Next Generation. CN-235 adalah proyek bersama antara PTDI dengan CASA. PTDI diberikan kebebasan oleh CASA untuk memberikan berbagai inovasi pada CN-235. Salah satunya menambahkan wing tips untuk menambah kestabilan pesawat.


Selain itu, C-212 versi improvement, harganya lebih murah, dan kapasitasnya juga bertambah. “Kami juga menargetkan pusat perawatan PTDI dapat merawat Airbus A320 di Indonesia,” ujar Budi.


Agar makin tokcer di masa depan, perusahaan itu akan merekrut generasi muda. Penerimaan besar-besaran insinyur PTDI terjadi pada 1982-1986. Setelah itu, tidak ada lagi. Kini sekitar 45 persen sumber daya ahli di perusahaan itu, khususnya para engineer, telah memasuki masa pensiun.


Kini, pegawai baru direkrut secara bertahap. “Yang pensiun, akan kami pertahankan 1-2 orang sebagai pelatih engineer baru. Cara ini kami gunakan mengatasi lost generation di PTDI,” kata Budiman.


Sebagai bahan latihan bagi para insinyur muda, PTDI menyiapkan N 219. Pesawat berkapasitas 19 orang ini akan dijadikan model agar para insiyur muda mengetahui satu siklus pembuatan pesawat.


Dari produk N 219 inilah, tenaga ahli muda itu dapat mengembangkan beragam jenis pesawat. Bukan tak mungkin suatu saat mereka menciptakan pesawat jet komersial seperti N2130 yang mati suri. Atau pesawat tempur IF-X/K-FX, kolaborasi PTDI dengan Korea Selatan.


Proyek terakhir itu kini memang tidak jelas nasibnya. Sebab, Korea Selatan memotong anggaran riset, serta pemerintah Turki mengundurkan diri dari program itu.
Agar di Langit Kita Jaya 


Hari sudah tengah malam. 10 Agustus 1995. Larut malam begitu, sudah banyak orang terlelap. Tapi laki-laki ini baru bergegas. Dia menyalakan mobil di garasi. Lalu menginjak pedal gas. Sendirian dari Bandung melaju ke Jakarta. Meliuk melewati bukit dan lembah. Saat itu Padalarang belum bersambung.

Rakhendi Priyatna, begitu nama pria ini, harus cepat sampai di Jakarta. Subuh hari, dia harus menyambut 40 wartawan di Halim Perdanakusumah. Dan banyak wartawan dari manca negara. Hari itu, kawasan Halim memang membetot mata Indonesia, bahkan Asia.

Dan itu karena Gatotkaca. Sebuah pesawat N250 buatan Indonesia yang namanya dicuplik dari tokoh pewayangan yang dicintai banyak orang itu. Hari itu, si Gatotkaca ini terbang perdana. Dan acara ini lebih dari sekedar menerbangkan pesawat, tapi juga tanda kedigdayaan ekonomi Indonesia. Di udara kita jaya.

Rakhendi berkisah. Pukul 8 pagi, menjelang lepas landas, semua orang gelisah. Terutama mereka yang bekerja keras di balik layar Gatotkaca. Para insinyur PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), yang menciptakan pesawat ini. Jika gagal seribu malu dipikul bangsa. "Rasanya bercampur aduk. Panas dingin. Semua orang khawatir pesawat itu gagal terbang atau trouble di udara,” kisah Rakhendi kepada VIVAnews. Apalagi Presiden Soeharto dan para petinggi bangsa sudah berdiri gagah di panggung kehormatan. Kamera para wartawan asing sudah membidik.

Tepuk tangan bergemuruh. Erwin Danuwinata, pilot penguji N250 Gatotkaca berkapasitas 70 penumpang itu sukses mendaratkan pesawat dengan mulus. Semua bersorak-sorai. Gembira campur rasa haru. Indonesia terselamatkan. Industri dirgantara Indonesia sontak menjadi sorotan dunia.

Hari gembira itu tinggal kenangan. Pernah dikagumi negeri tetangga, pabrik pesawat itu lama mati suri. Ada dua pesawat tersisa. N250 dan N250-100. Diparkir di halaman kantor IPTN, yang kini berubah nama menjadi PT Dirgantara Indonesia (PTDI). 

Pesawat Bikinan insinyur Indonesia. Bisa terbang ke daerah susah. 

Lama mati suri, perusahaan itu kini bernafas lagi.  Dua tahun belakangan dia berbenah. Revitalisasi. Restukturisasi. Meremajakan mesin. Merekrut insinyur. Kini perusahaan itu sedang mempersiapkan sebuah pesawat baru: N219.

N219. Inilah nyawa baru PT DI. Prototipe pesawat multi guna ini berkapasitas 19 penumpang. Mengelaborasi teknologi sistem pesawat paling modern. Dibangun dengan konstruksi logam pesawat. Kokoh.

Memang tidak secanggih N250. Bersahaja. Bahkan boleh dibilang sangat  sederhana. Direktur utama perusahaan itu, Budi Santoso, kepada VIVAnews menyebutkan, "Ini adalah yang termurah. Tapi, ada segmen pasarnya.”

Selain untuk bisnis, pesawat ini adalah wahana belajar  para insinyur baru.  Agar mereka tahu bagaimana membuat pesawat dalam satu siklus. Dari nol sampai terbang.

Kendati sederhana, menurut Direktur Aerostruktur perusahaan itu,  Andi Alisyahbana, pesawat N219  asli 100 persen karya anak bangsa. "Ini penting karena sampai saat ini jarang sekali ada produk industri dan rekayasa yang benar-benar dirancang oleh anak bangsa," tuturnya kepada VIVAnews.

Pesawat ini, lanjutnya, bisa memaksa generasi yang hampir hilang. Generasi N250. Agar segera menurunkan ilmunya kepada generasi baru.

Inilah N219 Itu

N dalam nama itu adalah Nusantara. Menunjukkan bahwa desain, produksi, dan perhitungannya dikerjakan di Indonesia. Meski baru prototipe, pesawat ini akan segera disertifikasi CSAR (Certified Specialist in Asset Recovery) 23. Artinya, sudah teruji sebagai produk mekanik berdasarkan standar Amerikat Serikat dan Kanada.

Rancangan pesawat ini telah lulus uji aerodinamika. Ketika itu, PTDI menggandeng Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sebagai penguji. Jika sudah siap, pesawat ini akan diterbangkan ke daerah terpencil. Menjadi perintis.

Pesawat N219 merupakan pengembangan dari pesawat CASA C-212 Aviocar. Termasuk desain dan semua konstruksi logam. Volume kabin terbesar di kelasnya. Lengkap dengan sistem pintu fleksibel. Bisa memuat penumpang secara lebih efisien. Bisa menjadi alat transportasi kargo.

Bobot bersih pesawat ini 4,7 ton. Telah memenuhi unsur pesawat kecil menurut  standar FAR 23. Bisa menjangkau jarak maksimal 1.111 kilometer. Kurang lebih sama dengan jarak terbang Jakarta ke Balikpapan.

Meski mungil, daya tampung pesawat ini terbilang besar. Hingga tujuh ton. Sayap sepanjang 19,5 meter mampu membuat logam sepanjang 16,5 meter dan tinggi 6,1 meter ini melayang-layang di ketinggian maksimal 10.000 kaki dari permukaan laut.

Berbeda dengan pesawat populer PTDI, CN235, yang dirancang untuk kebutuhan militer dan sipil, pesawat N219 sengaja didesain hanya untuk kebutuhan sipil. Jika CN235 bisa menampung 42 penumpang, N219 hanya 19 penumpang. Dengan begitu dia bisa dioperasikan pada daerah dengan kondisi alam ekstrim dan tingkat kesulitan yang tinggi. Seperti landasan tak beraspal di wilayah pegunungan. Di wilayah kepulauan.

Sejumlah teknologi unik telah diadopsi. Konstruksi badan dan sayap dari aluminium. Mesin off the shelf  yang banyak digunakan dalam dunia penerbangan. Sistem teknologi di dalamnya sudah modern. Reliable, dan mudah dalam perawatan.

"Teknologi Avionic N219 adalah teknologi termodern sekarang ini. Menggunakan Glass Cockpit dengan fitur synthetic vision untuk membantu pilot mendapatkan informasi navigasi yang akurat meskipun cuaca buruk,” kata Andi Alisjahbana. Sangat membantu ketika ingin terbang ke daerah terpencil.

N219 ini diharapkan bisa menggantikan pesawat Twin Otter. Sempat populer di era '70-'80an, pesawat jenis ini telah usang. Tidak diproduksi lagi, meski beberapa kerap ditemui di Indonesia.

Satu-satunya kelemahan pesawat ini, kata Andi, adalah urusan psikologis.  PTDI bukan lagi IPTN. Dia dan tim merasa perlu mempopulerkan nama dan reputasi PTDI di kalangan masyarakat luas.

Cerah atau Suram?

Sejatinya, rancangan pesawat ini sudah jauh. Sudah melewati Preliminary Design. Beberapa uji wind tunnel sudah dilakukan. Kini urusannya tinggal dana. Perusahaan itu memang tengah mengumpulkan uang untuk megaproyek ini.

Mestinya tak sulit. Sebab pasar terbuka lebar. Untuk 20 tahun ke depan kebutuhan pasar pesawat kelas 9-20 kursi di dunia diproyeksi mencapai 5.350 unit. Dari jumlah itu, kebutuhan di Asia Pasifik 549 unit. Itu sebabnya diperlukan komitmen jangka panjang. Jangan berpikir bikin hari ini, besok untung.

Program membangun pesawat bukanlah program tiga tahun. “Tetapi 20 tahun lebih hingga pesawat itu diproduksi,” kata Andi. Di negara mana pun, program pesawat terbang adalah usaha yang besar. Perlu dukungan pemerintah. Juga masyarakat.

Mewujudkan mimpi besar ini, PT DI tak bisa sendirian.  Instansi lain perlu terlibat. Seperti Kementerian Riset dan Teknologi untuk pengembangan. Kementerian Perindustrian untuk persiapan industri nasional pendukung. Serta Kementerian Perhubungan untuk sertifikasi dan operasi.

“Integrasi semua instansi menjadi harga mati. Jika tidak, industri dirgantara akan tetap tertidur lelap,” kata Andi.  Dari segi teknis proyek ini sudah siap. Tinggal menunggu dana dari konsorsium kementerian.

Dana yang diperlukan sekitar Rp600 miliar. PTDI sendiri telah membenam uang  Rp100 miliar untuk mendesain dan menyiapkan banyak hal. Perusahaan ini juga telah menyiapkan dana Rp100 miliar agar proyek terus menyala.

Tapi para petinggi perusahaan itu masih hati-hati. Terutama dalam soal uang. Jika dana sudah dikucurkan, dan ternyata Konsorsium Kementerian tidak mendukung, maka tamatlah proyek ini. “Gagal seperti N-250," kata Budi Santoso.
Sumber : Vivanews