|
Dirut PT Dirgantara Indonesia, Budi Santoso.
|
BANDUNG-(IDB) : Aktivitas di hanggar PT Dirgantara
Indonesia (PTDI) kembali bergairah. Kolaborasi antara generasi muda
dengan orang-orang berpengalaman di PTDI terlihat sinergis membuat
berbagai komponen pesawat.
Pemandangan itu berbeda saat 2007 lalu, di mana PTDI terseok-seok dan harus memproduksi panci untuk bertahan hidup.
Perlahan
tapi pasti, PTDI terus berbenah. Di bawah pimpinan Budi Santoso,
program restrukturisasi yang diluncurkan pada 2010 lalu mulai membuahkan
hasil. PTDI mulai meraup laba operasi pada 2012 lalu. PTDI berhasil
keluar dari beban masa lalu dan mencoba bangkit kembali.
Budi
Santoso bukanlah orang lama di PTDI. Ia bergabung sejak 1987, saat masih
bernama IPTN. Pada 1998 lalu, ia pindah menjadi Direktur Utama PT
Pindad dan berhasil. Pada 2007 lalu, doktor Robotika Katholieke
Universiteit Leuven, Belgia, ini diminta pemerintah untuk membenahi
PTDI.
Berikut wawancara langsung dengan Direktur
Utama PTDI, Budi Santoso, di kantornya, Bandung 8 April 2013. Ditemani
oleh Direktur Niaga dan Restrukturisasi, Budiman Saleh, Budi Santoso
memaparkan kinerja dan kondisi PTDI.
Berikut petikannya:
Bisa Anda jelaskan bagaimana kondisi PTDI terkini ?
Secara
bisnis, sebetulnya PTDI ini baru belajar lagi. Sewaktu masih bernama
IPTN, kami didesain untuk mengembangkan berbagai macam yang ada
kaitannya dengan pesawat.
Namun, secara nilai bisnis itu tidak masuk atau tidak ekonomis. IPTN
tidak bisa seterusnya seperti ini, jadi apapun perusahaan itu pasti
baliknya market oriented. IPTN waktu itu menguasai teknologi,
sebagai bagian dari cara kami untuk menjual produk. Sedangkan, bagian
lain seperti menguasai pasar, kami tidak pernah pelajari hal tersebut.
Sasaran IPTN waktu itu lebih banyak menjual produk ke pemerintah,
baik dalam dan luar negeri. Sedangkan kami menyadari bahwa industri
pesawat terbang itu adalah pasar penerbangan komersial. Untuk itu, kami
mempelajari penumpang pesawat. Karena kami melihat di pasar pesawat
penumpang itulah yang menghasilkan cash flow bagi perusahaan
penerbangan.
Ini yang dulu kami tidak pernah belajar. Sebagian besar orang-orang di PTDI ini dahulu adalah engineer
yang kebanyakan berpikir kalau teknologi bagus pasti jalan. Ternyata,
hal itu tidak cukup. PTDI saat ini sedang dalam kondisi pemulihan
setelah mengalami kesulitan keuangan pada beberapa tahun terakhir, dan
puncaknya terjadi pada tahun 2011 lalu.
Bagaimana dengan kondisi keuangan PTDI saat ini?
Baru-baru
ini PTDI secara korporat memenuhi syarat sebagai perusahaan. Mulai
tahun lalu, saat tutup buku, ekuitas kami positif, operasional sudah
untung lagi. Ini akan membuat kepercayaan dunia usaha, perbankan dan
lain-lain lebih baik. Bagaimanapun juga modal kerja PTDI masih sangat
tergantung dari perbankan.
PTDI pada 2012 lalu sudah berhasil
meraup laba bersih, namun besarannya berapa masih diaudit. Target akhir
bulan April ini baru diumumkan. Namun, kisaran laba sekitar Rp40
miliar. Akhir bulan baru dipastikan.
PTDI tahun lalu memperoleh kontrak apa saja?
Sepanjang
2012 lalu PTDI mendapatkan kontrak penjualan pesawat sayap tetap dan
helikopter, yang meliputi 9 unit CN 295, 1 unit NC 212–200, 25 unit
Bell 412 EP, 6 unit EC 725 dan 2 unit AS 365 N3.
Sedangkan penjualan yang meliputi customer support, aircraft services, komponen, dan jasa engineering
dengan total nilai kontrak yang telah dibukukan sebesar Rp7,79 triliun.
Berdasarkan nilai kontrak tersebut menghasilkan pendapatan PTDI sebesar
Rp2,98 triliun (draft audit).
Bagaimana cara anda mengubah PTDI dari perusahaan merugi menjadi perusahaan yang kembali bangkit?
Pada
saat 2007 kami masuk menjadi direksi, ternyata sepanjang 2003 hingga
2007 tidak pernah tutup buku. Sehingga kami harus mulai tutup buku
2003-2007.
Ketika masuk 2008 ada lagi data-data yang aneh, mulai dari pajak
belum dibayar, data-data hutang 1990an dan lain-lain. Waktu itu juga
mulai ramai demonstrasi juga dari internal perusahaan.
Kita bereskan semua di 2009. Kami minta audit oleh BPK, instansi
pajak, semua lembaga. Selain itu, kami selesaikan seluruh utang ke
pemerintah. Kami minta utang kepada pemerintah dikonversi menjadi modal.
Duitnya sih tidak ada, hanya di atas kertas namun tidak menjadi beban
keuangan PTDI.
Pada Desember 2011, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono menerbitkan PP untuk selamatkan PTDI. Pada tahun itu juga kami
mendapatkan kucuran dana PMN yang digunakan untuk membeli mesin-mesin
dan retraining sumber daya manusia (SDM). Jadi, sejak 2012 PTDI
seperti baru lahir kembali, ekuitas sudah positif, modal kerja walaupun
tidak banyak tetapi ada dan bisa kami gunakan untuk meminjam kredit
bank.
Kemudian yang penting lagi, PTDI mendapatkan pekerjaan yang
banyak setelah PMN mengalir. Ini seperti efek bola salju, konsumen
melihat PTDI mulai bangkit dan mereka langsung datang ke sini untuk
mengajak kerjasama yang mungkin pada lima tahun lalu saat saya pertama
kali menjadi direktur utama PTDI tidak terbayangkan.
Apa kesulitan PTDI saat ini?
PTDI
dalam 2 tahun terakhir ini terus melakukan revitalisasi dan
restrukturisasi, yang menyangkut peremajaan dan pembelian fasilitas
permesinan, perekrutan dan resdiposisi sumber daya manusia, modernisasi
sistem informasi teknologi (IT), proses perampingan bisnis, serta
pengembangan produk pesawat terbang agar tetap kompetitif di pasar.
Karena
baru bisa normal berbisnis maka kesulitan PTDI adalah membuat kontrak
jangka panjang untuk pesawat terbang di Asia Pasifik agar PTDI survive
sampai 10 tahun ke depan dan dalam waktu dekat akan banyak karyawan
yang akan pensiun sedangkan perekrutan baru dilaksanakan pada tahun
2011.
Kalau kami lihat, SDM di PTDI itu sudah relatif sudah tua semua di tingkat engineer.
Penerimaan pegawai PTDI itu pada periode 1982-1986, puncaknya
1984-1985. Itu sudah hampir 30 tahun, sudah mendekati usia pensiun
semua. Sedangkan untuk mendidik engineer itu tidak cukup mengambil lulusan dari universitas, karena mereka tidak mempunyai pengalaman untuk membuat pesawat.
Di PTDI saat ini ada semacam lost generation,
karena sekitar 45 persen pegawai saat ini mulai memasuki masa pensiun.
Pada 2010 PTDI mulai merekrut pegawai baru secara bertahap. Sedangkan
yang pensiun, kami pertahankan 1-2 orang sebagai pelatih engineer baru. Kami sampai 2014 akan tetap membuka penerimaan pegawai baru.
Kalau untuk operator mesin, kami training 3-6 bulan sudah bisa, anak-anak STM sudah ada pelajaran dasar. Sedangkan untuk engineer ini agak susah, mereka hanya mempunyai pengalaman dasar dan harus kami didik lagi. Untuk mendidik engineer, membutuhkan waktu 4-5 tahun lagi untuk cukup mereka bekerja di bidang penerbangan.
Untuk
menyiapkan mereka, maka membutuhkan pekerjaan yang nyata. Jadi harus
ada pekerjaan membangun pesawat. Target kami membuat pesawat N 219.
Kalau dibilang pesawat sederhana ya memang bisa dibilang sangat-sangat
sederhana. Kenapa tidak secanggih N-250? Ini adalah yang termurah buat
kami, ada target market-nya dan bisa digunakan sebagai wahana pendidikan para engineer
baru agar tahu bagaimana membuat pesawat terbang dalam satu siklus.
Dari nol sampai terbang. Dari situ kami kembangkan ke produk-produk lain
seperti CN-235.
CN-235 pun kami inovasi sendiri dengan gunakan wing-tips agar performance
lebih baik. NC-212 kami harapkan seperti itu. Waktu kami kerjasama
dengan CASA, bukan nama CASA yang kami cari, tapi Airbusnya, karena
mereka bagian dari Airbus. Dengan nama Airbus ini, image orang akan berbeda melihat PTDI.
Kalau
kita lihat di PTDI sekarang ini bukan saja orangnya yang sudah
kedaluwarsa, tapi mesinnya juga sudah tua. Mesin yang tua ini membuat
produktivitas menurun.
Mesin tua ini mengkonsumsi energi lebih mahal, jam kerja lebih banyak dan reability
menurun. Contoh, kami diberikan tugas untuk selesaikan berbagai
komponen dalam satu minggu, tapi karena sering ngadat, sudah tua bisa
molor.
Ditambah suku cadang mesin kami sudah tidak ada lagi, terutama
mesin-mesin yang elektronik sudah banyak yang harus diganti karena sudah
ketinggalan zaman.
Jadi titik balik kebangkitan PTDI ini adalah pengucuran dana PMN?
Sebetulnya
titik balik PTDI dua tiga tahun terakhir adalah dukungan pemerintah
untuk membereskan masa lalu PTDI. PP itu hanya salah satu alat, karena
ada yang lain seperti Kementerian Pertahanan yang memberikan pekerjaan
selama 3-4 tahun.
Setelah itu, mereka meminta PTDI untuk siapkan diri untuk mandiri.
Kami dapat pekerjaan dari Kementerian Pertahanan itu hampir 8 tahun.
Apapun kami kerjakan, walaupun hanya ditugaskan mengelap kaca pesawat.
Kami perlu hidup. Bisnis pesawat terbang bukan sesuatu yang instan.
Kalau mau menciptakan suatu produk sekarang, 3-4 tahun kemudian baru
kelihatan hasilnya. Jadi, kami diberikan nyawa lagi hingga 3-4 tahun
yang akan datang.
PTDI telah menjadi salah satu pemasok utama Airbus. Sejauh mana kerjasama tersebut berdampak terhadap PTDI ?
Salah
satu alasan PTDI menggandeng Airbus atau grupnya, EADS, adalah untuk
membuat persepsi pasar terhadap PTDI ini membaik. Kalau kami belum bisa
membuat kepercayaan pasar, maka kami harus menggandeng perusahaan lain
sampai dapat imbas image itu.
Di dunia ini, ada dua
perusahaan yang menguasai industri penerbangan komersial, yaitu Airbus
dan Boeing. Tinggal pilih, mau ikut Airbus dengan grupnya atau Boeing?
Dalam perjalanan, dua-duanya kami jajaki. Namun, yang terdekat dengan
kami adalah EADS dan grupnya. Secara sejarah, kwmi juga lebih dekat
walaupun dulu kita pernah punya hubungan dengan Boeing.
Itulah target kami ke depan dengan menggandeng Airbus. Kami ingin membuat pesawat namun dengan image yang bisa dikaitkan dengan brand yang bagus.
Jadi, katakanlah kami membuat pesawat dengan produksi standar Airbus,
maka orang lebih percaya daripada bilang buatan saya sendiri. Saya
tidak bilang engineer Indonesia ini jelek, tapi persepsi pasar terhadap PTDI saat ini masih kurang bagus.
Kami
lakukan restrukturisasi. Cari partner yang benar-benar perusahaan
pesawat terbang. Kami diajak dengan Airbus Military, dulu CASA, tapi
sekarang Airbus. Cara kami membuat pesawat, belajar secara administrasi
kepada Airbus. Kami dibantu oleh Airbus Military. Dari sini, kita Alhamdulillah belum pernah gagal memenuhi permintaan Airbus.
Sedangkan
kerjasama dengan Airbus untuk pesawat komersial, kami membuat komponen
sayap A320 dan A380. Untuk A380 itu untuk 10 tahun, sedangkan 320 itu
telah diperpanjang kontraknya pada 2009 lalu menjadi lifetime kontrak.
Per tahun kami bisa mendapatkan Rp180-200 miliar. Kami masuk ke suatu program tapi tidak menyeluruh, tapi mencari yang demand-nya tinggi untuk menurunkan biaya produksi.
Untuk
A320 sampai bulan Maret lalu kami sudah kirimkan 3.000 komponen. Mereka
minta 400 per tahun untuk dikirim. Maka, kalau ada yang bilang kami
menganggur, itu salah. Dengan modernisasi saat ini, PTDI 2-3 kali lebih
produktif dari yang lama. Kami tidak berani mengambil kerjaan lagi saat
ini karena kapasitas produksi kami sudah full.
Sekarang kami mau kemana? Kalau untuk dalam negeri mungkin PTDI
satu-satunya. Sedangkan di tingkat internasional? PTDI harus menggunakan
branding siapa saja, karena itu yang akan membuat pasarnya.
Daripada menciptakan pasar baru, itu bisa proses puluhan tahun dan itu
tidak mungkin, keburu mati. Membuat citra atau persepsi pasar itu tidak
instan, butuh waktu.
Kita bisa mencontoh Lenovo. Dahulu
menggunakan merek IBM dan akhirnya orang-orang sadar IBM itu adalah
Lenovo. Sekarang, Lenovo tidak menggunakan IBM, dan sekarang tetap laku
juga. Itulah fase-fase yang dapat ditiru semua orang.
Selain dengan Airbus, apakah PTDI juga memperoleh pesanan komponen dari produsen pesawat lain ?
Ada. Kami juga menjalin kerjasama dengan Eurocopter Family yang juga dibawah EADS untuk membuat body helikopter MK II, yaitu tailboom dan fuselage senilai Rp5 miliar. Selain itu PTDI juga menjadi subkontrak CTRM dan Korean Air senilai Rp10 miliar.
Sebenarnya banyak orang di Amerika Serikat dan Eropa itu menghargai kemampuan orang Indonesia di sisi engineering. Kalau urusan IT dan matematika orang India lebih jago dari Indonesia, tetapi untuk aeronautical Engineering itu Indonesia jago-jago. Itu seperti bakat orang Indonesia.
Orang-orang di Eropa mulai banyak yang tidak tertarik aeronautical engineering sehingga
masa depan SDM itu ada di Indonesia. Orang-orang Indonesia saat ini
tersebar di beberapa produsen pesawat dunia, namun seenak-enaknya orang
kerja itu paling enak kerja di negeri sendiri.
Tadi Anda sempat menyinggung proyek N-219, bagaimana nasib proyek tersebut saat ini?
Kelanjutan
proyek N-219 masih menunggu dengan beberapa kementerian dan lembaga
terkait, seperti LAPAN, BPPT, Kementerian Perindustrian, Kementerian
Riset dan Teknologi serta Kementerian Perhubungan. PTDI sendiri saat ini
telah membuat desain N-219 dan mempersiapkan sub kontraktor. PTDI saat
ini sedang menunggu kepastian dari sisi pendanaan dari Konsorsium
Kementerian.
PTDI menghitung untuk membuat prototype
N-219 ini membutuhkan dana Rp600 miliar. PTDI sendiri telah habis Rp100
miliar untuk mendesain dan menyiapkan segalanya. Kami juga telah
menyiapkan sekitar Rp100 miliar lagi agar proyek ini jalan. Namun, kami
kan harus hati-hati. Jika Rp100 miliar ini sudah kami kucurkan dan
ternyata dari Konsorsium Kementerian tidak mendukung maka proyek ini
dapat gagal lagi seperti N-250.
Sebenarnya, program ini sangat
potensial mengganti pesawat Twin Otter. Seperti kita tahu Twin Otter
sudah tidak diproduksi lagi namun masih digunakan di Indonesia. Kalau
dibilang sederhana, memang sederhana, tapi menjadi wadah bagi engineer pemula sebagai tempat pendidikan.
Pesawat N-219, pesawat turboprop bermesin dua dengan kapasitas
penumpang 19 orang. N-219 sangat cocok beroperasi di daerah-daerah
terpencil dan pegunungan Indonesia.
N-219 ini harapan kami
menjadi wahana bagi Indonesia untuk sertifikasi juga. Kami harapkan
Kementerian Perhubungan ini bisa mendukung. Kementerian Perhubungan bisa
menjadi regulator agar diakui oleh regulator dunia yang tinggal dua,
EASA dan FAA. Kalau salah satu masuk, maka sama saja.
Kalau Kementerian Perhubungan bisa approve
dengan EASA, itu adalah satu kelebihan Indonesia dibandingkan
negara-negara lain. Untuk sertifikasi pesawat harus ada regulator.
Seperti Korea Selatan, dua tahun yang lalu membuat pesawat kecil empat
penumpang , tetapi itu menjadi wahana dia untuk sertifikasi Korea
mendapat approval dari FAA. Kalau ingin Indonesia diakui oleh EASA maka harus menggunakan wahana N-219.
Kami
ingin Indonesia bukan hanya sebagai kepanjangan tangan EASA. Jika ada
pesawat EASA yang datang ke sini, kita bukan hanya mencap persetujuan,
tetapi ingin menjadi mitra seimbang. Di Asia Tenggara belum ada. Di
Asia, China, sertifikasinya pun belum diakui.
Apa rencana jangka panjang PTDI?
Kami
melihat PTDI ini bukan perusahaan teknologi, bukan badan riset, tapi
apapun harus dilihat secara bisnis. Jangan bangga bikin sesuatu tapi
tidak jadi apa-apa, hasil nyatanya tidak ada. Yang penting jangan sampai
SDM kami, anak-anak yang masuk ke PTDI, merasa tertipu tanpa masa
depan. Masa depan PTDI harus panjang, kalau kami rekrut orang, kalau
bisa hingga pensiun, kembangkan kemampuan di PTDI.
PTDI pada
tahun ini terus menggenjot pemasaran dan penjualan baik produk maupun
jasa. Kontrak yang diincar sebagian sudah terealisasi seperti penambahan
CN 235 TNI AL dan sebagian lagi baik dari dalam maupun luar negeri
sedang dalam proses.
PTDI secara potensial masih bisa mengembangkan CN-235 menjadi CN-235 Next Generation, karena PTDI diberikan keleluasaan untuk memberikan inovasi kepada CN 235, kami telah menambahkan wing tips
untuk menambah kestabilan pesawat.
Selain itu, C-212 versi improvement
yang disempurnakan agar lebih efisien, harganya lebih murah, dan
kapasitasnya naik. Kami juga mentargetkan pusat perawatan PTDI dapat
merawat Airbus A320 di Indonesia, selain ke depan dapat memproduksi
N-219 yang telah kami jabarkan tadi.
Keluarga Habibie akan mengembangkan industri pesawat juga, sejauh mana PTDI terlibat ?
Sebenarnya proyek ini, saya dan pak Habibie telah bicara 4-5 tahun yang lalu. Kompetensi teman-teman engineering tidak usah ditanyakan. Saya sudah siapkan orang, engineer.
Untuk pertahankan mereka di sini, PTDI mengeluarkan biaya hingga Rp90
miliar. Itu sudah berlangsung cukup lama karena saya harus memberikan
mereka pekerjaan di PTDI dan menggaji mereka.
Saya berharap agar proyek ini untuk cepat terealisasi sehingga saya tidak berpikir lagi untuk membayar engineer. Untuk menggaji engineer
ini, saya harus mencari pekerjaan di tempat lain. Mereka menghasilkan
uang untuk perusahaan, namun tidak cukup untuk menutup gaji mereka.
Selain
itu, PTDI mempunyai keterbatasan waktu dan tempat fasilitas produksi.
Kalau ada orang kasih pekerjaan tentu akan kita kerjakan itu terlebih
dahulu. Hingga saat ini, kami belum menerima timeframe dari pak Habibie, kapan mau dibangun dan apa saja yang mau dikerjakan. Mudah-mudahan kalau dapat cepat, kita bisa kerjakan.
Tapi kalau lama, saya mau tidak mau cari kerjaan di tempat lain. Saat
saya mendapatkan pekerjaan dari orang lain dan saat itu tiba-tiba
mendapat pekerjaan dari pak Habibie, ini kan dilematis juga.
Kalau
saya tidak pikirkan gaji karyawan, saya enak-enak saja bisa bilang
dukung seratus persen, bahkan seribu persen pun tidak apa-apa. Namun,
sebulan kami bisa mengeluarkan Rp20-30 miliar untuk menggaji karyawan
dan operasional.
Setiap hari saya bangun, saya harus pikirkan bagaimana mendapatkan uang Rp1 miliar untuk menggaji karyawan dan biaya overhead. PTDI tetap dukung proyek pak Habibie, tapi kami ini industri pesawat. Di negara lain, para engineer
ini dibiayai negara, digaji oleh negara seperti Korea Selatan.
Sehingga, jika ada perusahaan mau riset itu tinggal ambil tanpa harus
pikirkan gaji engineer. Nah, di kami mau taruh di mana? Mau taruh di BPPT, LAPAN, mereka tidak sanggup sehingga mau tidak mau harus ditahan di PTDI.
Dengan programnya pak Habibie, harapannya bisa secepatnya terealisasi sehingga biaya menunggunya sekecil mungkin.
Engineer
semua telah siap, PTDI siap. Sekarang saya tidak bisa alokasikan
fasilitas produksi untuk program ini, karena masih belum ada bayangan
program ini ke depan seperti apa. Sehingga saat ini fasilitas produksi
saya kerahkan semua untuk mengerjakan kontrak yang sudah ada, yang sudah
ada hasilnya di depan mata.
Mungkin, suatu saat jika program ini jalan hambatannya adalah
fasilitas produksi PTDI sudah penuh. Saya harus mengutamakan proyek yang
telah membayar karyawan saya. Kalau tidak, karyawan saya mau mencari
makan dari mana?
Sekarang ini kami sudah full, mesin ini hampir dibilang, jalan dua shift. Kalau mesin dipaksakan tiga shift, kalau ada kerusakan maka tidak bisa recover. Jadi mesin kami telah berjalan dua shift lebih sedikit. Shift ketiga dijalankan untuk recover kalau ada break down.
Kami minta pak Habibie secepatnya berikan kepastian sehingga saya bisa rencanakan dengan baik.