JAKARTA-(IDB) : Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Pramono Edhie menganggap
wajar ketika anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
tidak diizinkan masuk kedalam markas Kopassus Kandang Menjangan,
Sukoharjo, Jawa Tengah. Pasalnya, Komnas HAM memang tidak memiliki izin
untuk memasuki markas Grup-2 Kopassus itu.
Pramono pun membantah ada upaya menghalangi penyelidikan Komnas HAM terkait dugaan keterlibatan anggota Kopassus dalam insiden Lapas Cebongan, Yogyakarta. Menurutnya, larangan itu sudah sesuai dengan prosedur
"Ada satu aturan andai seseorang masuk camp militer, apalagi hendak melakukan suatu kegiatan, harus ada izin dari Panglima TNI lalu KSAD," kata Pramono dalam jumpa pers di Mabes AD, Jalan Veteran, Jakarta Pusat, Jumat (29/3).
Ketentuan ini, lanjutnya, berlaku di setiap fasilitas TNI. Ketentuan ini juga berlaku bagi semua pihak bahkan petinggi negara. "Anak sekolah mau outbond saja harus izin. Jangankan Komnas HAM, DPR Komisi I yang merupakan mitra kita saja harus izin dulu," ujarnya.
Pramono justru memuji ketegasan anak buahnya dalam menjalankan peraturan. Menurutnya, apabila anggota Komnas HAM diizinkan masuk maka Komandan Kandang Menjangan akan mendapat hukuman.
"Saya setuju dengan apa yang dilakukan Kartosuro (Kopassus Kandang Menjangan) karena memang belum ada izin. Kalau masuk justru jadi pelanggaran SOP berat," pungkasnya.
Seperti diketahui, tim investigasi dari Komnas HAM gagal bertemu Kopassus di markas Grup-2 Kopassus Kandang Menjangan, Sukoharjo. Komnas HAM bermaksud meminta keterangan Kopassus untuk mengusut pelanggaran HAM dalam kasus penyerangan lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cebongan, Sleman, Jogjakarta yang menyebabkan empat orang tahanan meninggal.
Keempat tahanan adalah Dicky Sahetapi alias Dicky Ambon, Dedi, Ali, dan YD alias Johan. Mereka merupakan tersangka pengeroyokan terhadap anggota Kopassus, Sertu Heru Santosa.
Pramono pun membantah ada upaya menghalangi penyelidikan Komnas HAM terkait dugaan keterlibatan anggota Kopassus dalam insiden Lapas Cebongan, Yogyakarta. Menurutnya, larangan itu sudah sesuai dengan prosedur
"Ada satu aturan andai seseorang masuk camp militer, apalagi hendak melakukan suatu kegiatan, harus ada izin dari Panglima TNI lalu KSAD," kata Pramono dalam jumpa pers di Mabes AD, Jalan Veteran, Jakarta Pusat, Jumat (29/3).
Ketentuan ini, lanjutnya, berlaku di setiap fasilitas TNI. Ketentuan ini juga berlaku bagi semua pihak bahkan petinggi negara. "Anak sekolah mau outbond saja harus izin. Jangankan Komnas HAM, DPR Komisi I yang merupakan mitra kita saja harus izin dulu," ujarnya.
Pramono justru memuji ketegasan anak buahnya dalam menjalankan peraturan. Menurutnya, apabila anggota Komnas HAM diizinkan masuk maka Komandan Kandang Menjangan akan mendapat hukuman.
"Saya setuju dengan apa yang dilakukan Kartosuro (Kopassus Kandang Menjangan) karena memang belum ada izin. Kalau masuk justru jadi pelanggaran SOP berat," pungkasnya.
Seperti diketahui, tim investigasi dari Komnas HAM gagal bertemu Kopassus di markas Grup-2 Kopassus Kandang Menjangan, Sukoharjo. Komnas HAM bermaksud meminta keterangan Kopassus untuk mengusut pelanggaran HAM dalam kasus penyerangan lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cebongan, Sleman, Jogjakarta yang menyebabkan empat orang tahanan meninggal.
Keempat tahanan adalah Dicky Sahetapi alias Dicky Ambon, Dedi, Ali, dan YD alias Johan. Mereka merupakan tersangka pengeroyokan terhadap anggota Kopassus, Sertu Heru Santosa.
KSAD Lindungi Pangdam IV Diponegoro
KSAD Jenderal Pramono Edhie Wibowo melindungi pernyataan Pangdam IV/
Diponegoro Mayjen Hardiono Saroso yang di awal kejadian sudah menyatakan
tidak ada anggota TNI yang terlibat.
"Saat itu sudah benar. Tolong dilihat waktunya, itu kan hanya sesaat , jangan sampai semua panik. Bukan berarti menutupi. Kondisi yang disampaikan pangdam sesuai dengan kondisi situasi saat itu. Dia harus beri jaminan rasa aman di Jawa Tengah," kata Pramono kepada wartawan, Jumat (29/3)
Mantan ajudan presiden Megawati ini menjelaskan, tim investigasi dibentuk dan dipilih dari penyidik militer terbaik. "Mereka adalah orang-orang yang memungkinkan untuk memperlancar kegiatan. Ada juga Pom daerah, juga ada dari Kopassus," kata Pramono yang sejak perwira pertama banyak berkarir di Korps Baret Merah ini.
Pramono mengakui sekaligus meralat pernyataan Kepala BIN Marciano Norman yang menyebut senjata dengan peluru kaliber 7,62 mm adalah senjata yang tidak lagi dipakai TNI. "Soal senjata ini harus jujur saya nyatakan bahwa 7,62 masih kami gunakan," katanya menjawab pertanyaan wartawan.
Mantan Pangkostrad itu menjelaskan, kaliber 7,62 mm adalah kaliber besar. "Kalau yang standar 5,56 mm produk Pindad juga kita gunakan, terutama di satuan infanteri," katanya. Sedangkan kaliber 7,62 digunakan di kalangan tertentu di TNI-AD. "Misalkan untuk sniper, karena ini bisa untuk jarak jauh dan lebih akurat,"tambahnya.
Dia menyebut beberapa varian yang menggunakan kaliber 7,62 mm. "Misalkan G-3, SP, dan AK 47," katanya. G-3 yang dimaksud KSAD adalah senjata serbu Heckler and Koch G3 buatan Jerman. Sedangkan SP adalah Spetsialnyj Patron buatan Rusia. "Itu senjata masih ada yang kita gunakan, baik di kewilayahan, bantuan tempur, maupun satuan tempur. Sejujurnya, masih," kata Pramono.
"Saat itu sudah benar. Tolong dilihat waktunya, itu kan hanya sesaat , jangan sampai semua panik. Bukan berarti menutupi. Kondisi yang disampaikan pangdam sesuai dengan kondisi situasi saat itu. Dia harus beri jaminan rasa aman di Jawa Tengah," kata Pramono kepada wartawan, Jumat (29/3)
Mantan ajudan presiden Megawati ini menjelaskan, tim investigasi dibentuk dan dipilih dari penyidik militer terbaik. "Mereka adalah orang-orang yang memungkinkan untuk memperlancar kegiatan. Ada juga Pom daerah, juga ada dari Kopassus," kata Pramono yang sejak perwira pertama banyak berkarir di Korps Baret Merah ini.
Pramono mengakui sekaligus meralat pernyataan Kepala BIN Marciano Norman yang menyebut senjata dengan peluru kaliber 7,62 mm adalah senjata yang tidak lagi dipakai TNI. "Soal senjata ini harus jujur saya nyatakan bahwa 7,62 masih kami gunakan," katanya menjawab pertanyaan wartawan.
Mantan Pangkostrad itu menjelaskan, kaliber 7,62 mm adalah kaliber besar. "Kalau yang standar 5,56 mm produk Pindad juga kita gunakan, terutama di satuan infanteri," katanya. Sedangkan kaliber 7,62 digunakan di kalangan tertentu di TNI-AD. "Misalkan untuk sniper, karena ini bisa untuk jarak jauh dan lebih akurat,"tambahnya.
Dia menyebut beberapa varian yang menggunakan kaliber 7,62 mm. "Misalkan G-3, SP, dan AK 47," katanya. G-3 yang dimaksud KSAD adalah senjata serbu Heckler and Koch G3 buatan Jerman. Sedangkan SP adalah Spetsialnyj Patron buatan Rusia. "Itu senjata masih ada yang kita gunakan, baik di kewilayahan, bantuan tempur, maupun satuan tempur. Sejujurnya, masih," kata Pramono.
Sumber : JPNN