JAKARTA-(IDB) : TNI Angkatan Darat berencana membeli
44 helikopter, terdiri dari 24 unit Bell 412 dan 20 unit Black Hawk.
Pengadaan itu merupakan bagian dari pengorganisasian alat utama sistem
persenjataan (alutsista) TNI AD. Demikian disampaikan KSAD Jendral Pramono Eddy
Wibowo dalam Kompas edisi 12 Februari lalu.
Dengan kata lain, pembelian helicopter itu merupakan bagian dari rencana
pembangunan postur TNI AD. Formula pembangunan postur militer seharusnya
mengalir dari proses penghadapan (wargaming) antara ancaman nyata maupun
potensi yang dihadapi dan filosofi pertahanan dan politik luar negeri yang
dianut. Dari sana dibangun konsepsi sistem pertahanan atau doktrin, yang secara
hierarkis berupa doktrin dasar, induk, dan pelaksanaan. Kemudian, berdasarkan
doktrin ini dibuat konsep pokok pengorganisasian militer.
Di sisi lain, dari inventarisasi jenis ancaman yang mungkin dihadapi,
didapatkan jenis-jenis operasi yang mungkin dilaksanakan, selanjutnya, dari
penghadapan antara konsep pengorganisasian dan jenis operasi militer yang
mungkin dilaksanakan itulah diperoleh postur yang diinginkan. Postur militer
terdiri dari aspek kekuatan, kemampuan, dan penggelaran. Hemat saya, kurang
tepat jika postur TNI dibangun untuk tujuan perimbangan kekuatan karena akan
menimbulkan persaingan senjata yang tak sehat dan membahayakan stabilitas
keamanan di kawasan.
Tepat Guna
Berdasarkan paradigma diatas, Buku Putih Pertahanan Indonesia 2008 yang masih
berlaku sampai saat ini menempatkan ancaman militer berupa pemberontakan
senjata, terorisme, pelanggaran wilayah, sabotase, dan konflik komunal sebagai
ancaman yang paling mungkin dihadapi. Bahkan, kini, dalam iklim kebebasan
nyaris tanpa batas yang dihembuskan liberalism, konflik komunal dengan berbagai
macam latar disertai tindakan kekerasan tampaknya kian meluas dan meningkat
sehingga dinilai dapat membahayakan keselamatan dan keutuhan bangsa. Selain
itu, negeri ini secara kodrat memiliki potensi bencana alam yang luar biasa
besarnya. Potensi ini pun kian bertambah besar karena kita abai terhadap
masalah lingkungan.
Tanpa mengabaikan kemungkinan (kecil) operasi militer konvensional, maka jenis
operasi militer yang paling mungkin dilaksanakan TNI adalah operasi lawan
gerilya, penangulangan terror, operasi inteligen, dan territorial. Selain
melaksanakan tugas pembantuan kepada Polri dalam upaya pencegahan, meredamkan,
atau mengatasi berbagai macam konflik, yang kerap dilakukan adalah tindakan
pertolongan darurat, mitigasi, dan rehabilitasi atas bencana alam.
Dalam melakukan operasi militer serta semua kegiatan di atas, TNI dituntut
memiliki kemampuan mobilitas tinggi sehingga deployment pasukan darat
dilakukan dalam waktu singkat dan masif. Dalam kontek ini, rencana pengadaan
kedua jenis helikopter tadi dinilai sangat tepat, terlebih bila dihadapkan pada
konfigurasi wilayah Nusantara dengan segenap karakteristiknya. Jumlah 44 unit
atau hampir 3 skuadron besar sangat mungkin untuk di bawah kendali operasikan
atau dalam status earmarked bagi beberapa kodam yang memiliki daerah
panas dalam wilayahnya sehingga setiap ancaman militer yang dihadapi dapat
diantisipasi dan diselesaikan ketika masih embrional.
Helikopter Bell 412 buatan Bell Helicopter Textron ini sudah lama diproduksi PT
DI Bandung sehingga TNI, khususnya Pusat Penebangan TNI AD, sudah terbiasa
dengan helicopter jenis ini. Populasinya pun sangat besar, variasi militernya
digunakan oleh lebih dari 40 negara sehingga tak sulit mendapakan suku
cadangnya di pasar internasional. Adapun Black Hawk, helicopter serbaguna
buatan Sikosrsky Aircraft yang dioperasikan sejak 1978, merupakan helikopter
canggih yang kini melegenda.
Sama halnya Bell 412, populasinya kini sedang mendunia. Negara tetangga yang
sudah mengoperasikan adalah Australia, Singapura, Malaysia, Brunei, Thailand,
dan Filipina. Karena daya angkut dan kemampuan mobilitasnya tinggi, Black Hawk
milik AS, Australia dan Singapura sangat berjasa menangani tsunami di Aceh dan
Nias pada 2006. Demikian pula jika dihadapkan pada potensi ancaman yang dapat
muncul tiba-tiba, kedua jenis helikopter itu sangat efektif memindahkan pasukan
secara airlift dan pendorongan logistic.
Dilihat dari kacamata perawatan pasca-penjualan dan kemungkinan alih teknologi,
pembelian kedua jenis helikopter itu sangat menguntungkan. Ini disebabkan
selain PT DI sudah memproduksi Bell 412, pada masa lalu TNI AU juga pernah
mengoperasikan Sikorsky S 58T Twin Pack yang merupakan generasi terdahulu Black
Hawk. Selain itu, kita sudah memiliki cukup pengalaman dalam pengoperasikan dan
perawatannya, juga sudah terbuka jalan bagi proses alih teknologi kedua jenis
helikopter tersebut.
Perlu Didukung
Rencana pengadaan 44 unit helikopter itu perlu didukung penuh pemerintah dan
DPR, bahkan seharusnya ditempatkan pada skala prioritas tertinggi karena jauh
lebih rasional dan realistis ketimbangkan Tank Leopard. Namun, hendaknya jangan
ditinggalkan masalah prinsip dalam setiap pembangunan kekuatan militer.
● Pertama, pengembangan kekuatan tanpa disertai peningkatan kemampuan dan
kesejahteraan yang memadai adalah bom waktu yang sangat berbahaya.
● Kedua, harus sesuai dengan realitas kemampuan ekonomi nasioanl. Apabila
tidak, alutsista yang dibeli dengan cepat akan jadi besi tua karena tidak mampu
membeli suku cadang.
● Ketiga, harus konsisten pada skala prioritas yang ditentukan.