Pages

Jumat, Juni 08, 2012

Analisis : Kontrak PKR10514 Sebuah Keterkejutan Yang Wajar

ANALISIS-(IDB) : Hingar bingar belanja alutsista TNI yang  sedang menuju panen raya tahun ini tiba-tiba “dikejutkan” dengan kontrak kerjasama pengadaan 1 unit kapal perusak kawal rudal (PKR) antara Kemhan RI dengan DSNS (Damen Schelde Naval Shipbuilding) Belanda.  Kontrak itu ditandatangani Selasa tanggal 5 Juni 2012 di Jakarta.  Kemhan diwakili oleh Kepala Baranahan (Badan Sarana Pertahanan) Mayjen TNI Ediwan Prabowo dan DSNS diwakili oleh Director Naval Sale Of DSNS Evert Van Den Broek.

Mengapa harus terkejut, karena komunitas militer dan publik kita tidak menyangka akan adanya penandatanganan kontrak PKR karena proyek itu sudah dianggap mati suri.  Padahal awalnya harapan begitu besar disandangkan terhadap proyek PKR light fregat ini yang kelak akan menghasilkan 10 kapal perang PKR dengan pola transfer teknologi.  Tetapi ketika membaca nilai kontraknya hanya menghasilkan nilai 1 produk yang biasa-biasa saja dan hanya bernilai kontrak US$ 7 juta untuk bagian PT PAL.  Sedangkan sisa dari nilai kontrak yang US$ 220 juta tetap milik Damen Schelde meski dinyatakan bahwa kapal itu akan dirakit bagian-bagiannya di PAL Surabaya.  Ironisnya ketika bicara transfer teknologi, RI harus bayar lagi sebesar US $ 1,5 juta pada guru mantan kolonialnya.
KRI Sigma Class dan LPD Class TNI AL dengan US Coast Guard di Laut Jawa Juni 2012
Diantara semua paket pengadaan alutsista TNI, paket kontrak dengan Damen Schelde ini merupakan paket yang berakhir anti klimaks padahal ereksi harapannya sudah cukup lama tapi tak mampu juga penetrasi.  Bandingkan dengan pengadaan Leopard yang sempat diributkan itu tetapi sesungguhnya komunitas forum militer dan publik tanah air mendukung kehadiran MBT Leopard.  Namun ketika kontrak pengadaan PKR 10514 (Kapal perang dengan panjang 105 meter dan lebar 14 meter, berat 2335 ton) ini di sign, kritik yang bertubi-tubi ditembangkan oleh komunitas itu tak terkecuali oleh wakil ketua Komisi I DPR TB Hasanudin.

Kalau dalam proyek pengadaan Leopard komunitas militer yang tergabung dalam formil kaskus sebagian besar kontra dengan TB Hasanudin maka kali ini sebagian besar mereka justru mendukung langkah TB Hasanudin untuk membawa persoalan kontrak itu dalam rapat dengan Kemhan minggu-minggu mendatang.  Banyak hal yang perlu ditanyakan, diklarifikasi sehubungan dengan pola kerjasama pengadaan alutsista kapal perang yang dinilai banyak kalangan bersifat setengah hati.  Setengah hati di pihak Indonesia sebangun dengan setengah hati pihak Belanda.

Proyek PKR ini sudah tersendat lebih dari empat tahun dengan berbagai cerita yang tak berujung.  Setelah KRI Sigma ke empat di terima, publik dilambungkan dengan rencana proyek Kornas (korvet nasional) atau yang disebut Sigma jilid 5, lalu berubah lagi dengan memajang proyek PKR, dan bahkan sudah pakai acara potong baja sebagai simbol dimulainya proyek itu.  Namun  setelah itu tak ada kabar lagi.  Lalu tiba-tiba ada rencana mengakuisisi 3 kapal perang dari jenis Nachoda Ragam Class, tiga perawan tua yang tak laku-laku.  Awalnya sudah dipinang Brunai namun tak lama dibatalkan karena spek teknisnya tak sesuai dengan permintaan Brunai walaupun negeri kaya minyak itu sudah membayar lunas maharnya.
Pangkalan Utama TNI AL Surabaya dengan 3 korvet Sigma Class
TNI AL memang masih membutuhkan banyak kapal perang berbagai kelas untuk memenuhi ambisinya membentuk 3 armada tempur.  Diantara berbagai proyek pengadaan kapal perang itu tercatat proyek kapal cepat rudal buatan galangan swasta nasional yang berjalan mulus.  Selama 2 tahun terakhir ini sudah jadi 2 KCR Clurit Class.  Proyek pengadaan 3 kapal selam kelas Changbogo dari Korsel sedang berjalan meski jalan ke arah sana berliku sampai membutuhkan 5 tahun untuk memilih jenis kapal selam yang bagaimana yang akan mengawal perairan RI.  Meski sempat bangga dengan rencana menghadirkan 2 kapal selam kelas Kilo dari Rusia namun akhirnya kapal selam kelas U209 dari Korsel yang terpilih karena ada sekolah transfer teknologinya.

Ada pertanyaan menggelitik mengapa untuk urusan pengadaan kapal pemukul permukaan kita harus berkiblat ke Belanda.  Padahal masih banyak negara yang mampu membuat jenis kapal yang sekelas dengan pola yang lebih ramah dalam perjanjian kerjasamanya, misalnya Italia.  Ada kesan dalam setiap pengadaan alutsista dengan negeri penjajah ini mereka selalu beranggapan bahwa mereka merasa diatas kita derajat kelasnya.  Lihat saja ketika kita mau pesan Leopard, Belanda mempersyaratkan berbagai macam hal seperti HAM dan Papua.  Namun ketika kita balik arah ke Jerman mereka senewen juga dan minta bagian separuhnya daripada tidak dapat sama sekali.  Menepuk air di dulang tepercik muka sendiri.

Sebagai negeri penjajah, sudah tiba saatnya bagi Belanda untuk memamerkan langkah kedewasaan sikap dengan lebih banyak membagi ilmu, mempertaruhkan langkah arifnya daripada sekedar berbisnis murni.  Proyek kerjasama dalam bentuk apa pun semestinya dijadikan langkah untuk mempromosikan diri sebagai bangsa yang menghargai nilai-nilai kebersamaan dan harkat.  Bukan selalu mendikte dan merasa paling pintar.  Ingat jaman IGGI, ingat lagak Mr Pronk dekade 90an. Sayangnya juga kita masih berada dalam lingkar langgam sebagai anak jajahan dengan pola pikir banyak mengangguk, sehingga kita juga tak mampu membebaskan diri dari pengaruh bathin 350 tahun itu.

Negara-negara industri alutsista di Asia seperti Korsel dan Cina selalu menampilkan gaya gaul yang setara dan ini memang kultur Asia yang selalu menghargai bangsa lain.  Dengan Cina kita sudah mendapatkan kerjasama teknologi rudal.  Demikian juga dengan Korsel dengan teknologi kapal selam.  Kerjasama pengadaan kapal perusak kawal rudal kelas light fregat awalnya sangat diharapkan menghasilkan jumlah kapal light fregat minimal 2 unit tahun 2014 dari opsi pengadaan 10 unit setelah tahun 2014.  Selain itu dengan pengadaan kapal sebanyak itu diharapkan RI dapat mengambil ilmu transfer teknologinya setelah kapal ketiga dan keempat.  Namun cerita dongeng sebelum tidur itu justru dianggap mati suri karena Damen Schelde dan PT PAL gagal bersepaham dalam kualitas dan kuantitas transfer teknologi yang diinginkan.

Nah ketika perjalanan pasal kontrak terhenti di terminal pasar transfer teknologi, sementara TNI AL sangat memerlukan kapal-kapal berkualifikasi korvet ke atas lalu muncullah tawaran 3 Nachoda Ragam (NR) Class.  Sebagai user TNI AL memang butuh banyak kapal perang untuk peremajaan kapal perangnya sekalian mengejar pencapaian target MEF tahap I yang berakhir tahun 2014.  Terlepas dari apapun kontroversi tentang NR sesungguhnya Angkatan Laut kita membutuhkan kapal perang ini karena kegagalan pencapaian kontrak PKR sesuai jadwal. Apalagi NR ini barangnya sudah ada. 
3 Nachoda Ragam Class yang diinginkan TNI AL
Kontrak PKR 10514 yang di sign tanggal 5 Juni 2012 itu hanya untuk pembuatan 1 kapal tok.  Ini juga sebuah bentuk keanehan karena biasanya kontrak kerjasama minimal untuk 2 kapal perang. Okelah kalau memang kontrak PKR 10514 itu dilakukan dalam rangka memenuhi payung hukum atau sekedar menggugurkan kewajiban, ke depannya tidak salah kalau kita melirik ke Cina, Perancis dan Italia.  Kita masih butuh kapal perang berkualifikasi fregat dan bahkan destroyer.  Negara-negara itu diyakini bersahabat dan tidak pelit ilmu teknologi sehingga jalannya proses pertambahan kapal perang RI dapat terpenuhi sekalian menimba teknologinya.  Catatan untuk PT PAL juga adalah jangan terlalu berharap banyak tentang ilmu transfer teknologi jika secara lahiriah dan bathiniah belum mampu menjalankan peran itu secara total.

Kita sangat mendukung perkuatan kapal perang TNI AL.  Ada proyek kapal cepat rudal  KCR 40 dan KCR 60 serta KCR Trimaran.  Ada proyek kapal tanker, ada proyek kapal LST, ada proyek kapal selam, semuanya sedang berjalan.  Ketersendatan proyek PKR dengan Belanda selayaknya dijadikan pengalaman berharga.  Ke depan kita mengharapkan pola kerjasama pembuatan kapal pemtkul berkualifikasi fregat dan destroyer dengan negara lain selain Belanda dapat berjalan.  Tidak satu jalan ke Roma bukan, dan hanya keledai yang bisa jatuh ke kubangan lebih dari sekali.

Sumber : Analisis

Danpasmar-1 Tinjau Latihan Yontaifib-1 Marinir

ROGOJAMPI-(IDB) : Komandan Pasmar-1 Brigadir Jenderal TNI (Mar) Tommy Basari Natanegara meninjau latihan TW.II TA.2012 Yontaifib-1 Marinir di Pantai Rajegwesi Banyuwangi Selatan, Jawa Timur, Selasa (5/6).

Dalam kunjungannya ke tempat Latihan Yontaifib-1 Marinir tersebut, Komandan Pasmar-1 di dampingi Asops Pasmar-1 Kolonel Marinir Y. Rudi Sulistiyanto dan Asintel Pasmar-1 Letkol Marinir Widodo


Komandan Pasmar-1 dalam pengarahannya kepada prajurit Taifib-1 Marinir yang sedang melaksanakan latihan mengatakan, sangat bangga dan mengapresiasi atas apa yang telah ditorehkan Yontaifib-1 Marinir selama ini, berbagai prestasi telah diukir oleh Batalyon Taifib sebagai salah satu Pasukan Khusus TNI AL.


Pada bagian lain, melihat materi latihan yang cukup berat, Danpasmar berpesan agar prajurit senantiasa menjaga faktor keamanan. “ Jaga faktor keamanan dan serius dalam setiap Latihan “ pesan Danpasmar-1.


Latihan TW. II Taifib-1 Marinir TA. 2012 kali ini memfokuskan bidang Aspek Laut dengan fokus latihan pada tugas pokok Taifib dalam operasi amfibi serta operasi-operasi khusus lainnya. Beberapa materi latihan antara lain Renang tembus gelombang, renang rintis, renang malam hari, renang jarak jauh, Surob, pengintaian pantai administrasi dan tempur, Down Proofing, pre Dawn Recon serta selam tempur.


Tujuan Latihan ini adalah untuk memelihara, meningkatkan kemampuan serta keterampilan teknis dan taktis dengan sasaran tercapainya peningkatan pengetahuan dan kemampuan teknis serta taktis bagi personel Taifib dalam operasi-operasi khusus aspek laut, selain itu agar setiap Prajurit memiliki naluri tempur yang tinggi sebagai Pasukan Intai Amfibi Marinir.


Sumber : Kormar

Operasi Militer Dalam Kacamata Undang-Undang TNI

TRBN-(IDB) : Meskipun selama ini Undang-Undang Nomor 34 menjadi payung hukum dan pendorong bagi TNI untuk melakukan berbagai langkah perubahan, namun apabila disimak secara seksama dan memperhatikan berbagai polemik belakangan ini, akan ditemukan berbagai kejanggalan dan kesulitan dalam mengimplementasikan apa yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 34. Salah satunya yang tertuang dalam pasal 7 ayat 2 mengenai pemisahan tugas pokok TNI melalui Operasi Militer Untuk Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) serta pelaksanaan  operasi militer selain perang yang harus  berdasarkan  kebijakan  dan  keputusan  politik  negara  sesuai  ayat pasal 7 ayat (3).

Harus diakui dan kita patut mengapresiasi apa yang dilakukan TNI sejak bergulirnya gelombang reformasi 1998. TNI tanggap dan menyadari bahwa dia merupakan salah satu institusi yang menjadi obyek  tekanan publik untuk berubah, tidak lagi  menjadi alat penguasa dengan “Dwi Fungsi ABRI”nya.  Atas kesadaran itu TNI  terus berbenah dan menata diri dengan istilah “Reformasi internal TNI”. TNI tidak hanya mencabut Dwi Fungsi ABRI sesuai tuntutan reformasi yang diusung para mahasiswa pada tahun 1998 saja, tetapi TNI juga melakukan sejumlah langkah perubahan restrukturisasi dan reorganisasi, reaktualisasi, reposisi dan redefinisi TNI dengan munculnya berbagai produk regulasi perundangan seperti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002, TAP MPR Nomor VI dan Nomor VII Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, serta puncaknya dengan  ditetapkannya Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.

Undang-Undang  Nomor 34 Tahun 2004 ini menjadi payung hukum yang sah dalam perjalanan peran dan kiprah TNI sesuai yang diharapkan bangsa Indonesia. Beberapa capaian yang diraih selama periode ini antara lain likuidasi staf Komunikasi sosial TNI pada tahun 2005, netralitas TNI dalam Pemilu dan Pilkada, penghapusan  bisnis militer dan pengalihan pengadilan militer (meskipun masih menyisakan pekerjaan rumah), keputusan Panglima TNI mengenai keharusan adanya surat pengunduran diri dari dinas aktif bagi prajurit yang akan ikut bertarung dalam Pilkada, larangan tidak menggunakan asrama dan fasilitas TNI untuk kampanye Pemilu dan Pilkada serta berbagai capaian lainnya. Suatu perubahan nyata yang tidak terbayangkan dapat diwujudkan, apabila kita menyimak sepak terjang TNI dimasa rezim Orde Baru.

Meskipun selama ini Undang-Undang Nomor 34 menjadi payung hukum dan pendorong bagi TNI untuk melakukan berbagai langkah perubahan, namun apabila disimak secara seksama dan memperhatikan berbagai polemik belakangan ini, akan ditemukan berbagai kejanggalan dan kesulitan dalam mengimplementasikan apa yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 34.   Salah  satunya  yang  tertuang  dalam pasal 7 ayat 2 mengenai pemisahan tugas pokok TNI melalui Operasi Militer Untuk Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) serta pelaksanaan  operasi militer selain perang yang harus berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara sesuai ayat 3.

Pemisahan tugas pokok TNI terbagi menjadi dua yaitu OMP dan OMSP rasanya kurang tepat. Bagaimana tidak? Kalau mengacu kepada pemisahan itu dan penjelasan apa yang dimaksud dengan operasi militer untuk perang yakni segala bentuk pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI untuk melawan kekuatan militer negara lain yang melakukan agresi terhadap Indonesia, dan/atau dalam konflik bersenjata dengan suatu negara lain atau lebih yang didahului dengan adanya pernyataan perang dan tunduk pada hukum perang internasional, maka selama ini tidak ada operasi atau kegiatan TNI yang dapat dikategorikan dalam OMP.  Sejak Operasi Trikora menghadapi Belanda untuk memperebutkan Irian Barat (Sekarang Papua) dan Operasi Dwikora dalam konfrontasi melawan Malaysia pada awal tahun 1960-an, TNI tidak pernah lagi melakukan operasi militer untuk perang. Intinya kegiatan TNI yang dapat dikategorikan OMP dapat dikatakan “Nihil”. Apa yang dilakukan TNI selama ini khususnya usai konfrontasi dengan Belanda dan Malaysia masuk dalam kategori operasi perbantuan, operasi “civic mission” yang menurut UU No.34/2004 termasuk operasi militer selain perang.  Padahal pandangan masyarakat awam tugas tentara itu yah perang, melakukan kegiatan-kegiatan militer untuk perang menjaga keutuhan, kedaulatan negara dan menjaga keselamatan bangsa Indonesia.

Istilah operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang sedikit banyak mengadopsi apa yang dilakukan oleh tentara AS dalam membagi tugasnya.  Kalau AS menggunakan istilah OMP dan OMSP memang pas, karena memang cocok dengan doktrin negara adidaya itu yang identik dengan polisi dunia dan doktrin militernya bersifat ofensif aktif.  Operasi militer untuk perang senantiasa digelar dan dilakukan seperti beberapa waktu lalu menggelar operasi militer di Irak, Afganistan, Libia dan sebagainya, sementara operasi kemanusiaan yang dikenal dengan civic mission sifatnya hanya bersifat insidentil saja. Berbeda dengan Indonesia, yang tidak mengenal dan menerapkan doktrin ofensif aktif. Operasi militer yang dilakukan Indonesia lebih bersifat defensif untuk mempertahankan wilayah dan kedaulatan NKRI serta operasi bersifat bantuan yang masuk dalam kategori OMSP.

Lebih tepat apabila tugas pokok TNI dipilah menjadi Operasi Militer untuk  Pertahanan (OMP)  dan Operasi Militer untuk Bantuan (OMB).  Operasi Militer untuk Pertahanan meliputi pengerahan dan penggunaan pasukan TNI  terkait dengan tugas TNI dalam menjaga keutuhan wilayah  dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bukan hanya terbatas untuk perang saja, tetapi juga termasuk mengatasi gerakan separatis bersenjata dan mengatasi pemberontakan dalam skala tertentu, patroli darat, udara dan laut, pengamanan perbatasan, penempatan pasukan TNI di pulau- pulau terdepan dan operasi militer terkait pertahanan lainnya. Sementara Operasi Militer untuk Bantuan (OMB) pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI untuk membantu fungsi dan tugas pokok badan, institusi, kementerian lain, termasuk tugas internasional membantu PBB.

Begitupula dengan pasal 7 ayat (3) yang berbunyi “ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara”. Dalam hal ini seluruh pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI diharuskan berdasarkan keputusan Presiden dan disetujui oleh DPR. Pasal 7 ayat (3) seharusnya tidak berlaku secara menyeluruh terhadap operasi militer yang dilakukan oleh TNI. Operasi militer terkait dengan pertahanan yang bersifat rutin seperti patroli darat, udara dan laut dan operasi militer untuk bantuan seperti membantu badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam penanggulangan bencana, membantu Basarnas dalam membantu pencarian dan pertolongan kecelakaan, pemberdayaan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukung secara dini, membantu pengamankan tamu negara tidak harus berdasarkan keputusan politik negara. Pengalaman selama TNI selama ini dalam membantu penanggulangan bencana dinilai lambat terus. Dapat dibayangkan kalau operasi bantuan ini harus menunggu keputusan politik negara, bantuan TNI akan semakin lambat dan tudingan TNI tidak sigap dalam memberi bantuan kembali akan dialamatkan kepada institusi ini.  Evakuasi korban pesawat Shukoy Superjet 100 yang jatuh di Bogor tidak akan selesai secepat itu bila harus menunggu keputusan politik negara dalam mengerahkan dan menggunakan kekuatan TNI yang tergabung dalam tim SAR.

Pasal 7 ayat (3) yang menggeneralisir terhadap setiap operasi militer yang dilakukan oleh TNI juga menimbulkan polemik saat baru-baru ini TNI diminta dan disertakan dalam mengamankan istana negara saat berlangsungnya demonstrasi terkait issu kenaikan BBM beberapa bulan lalu.

Dari sisi pelaksanaan tugas pokok TNI yang dilakukan dengan pemilahan Operasi Militer untuk Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP), termasuk ketentuan dalam operasi militer yang tertuang dalam pasal 7 dimana semuanya harus didasarkan keputusan politik negara, sudah menimbulkan debatable dan polemik dalam tataran implementasinya. Belum lagi disimak pasal-pasal lainya, tentu masih banyak didapati kekurangan. Hal ini dapat dimaklumi, karena Undang-Undang TNI diproduksi ditengah suasana euforia tuntutan reformasi salah satunya tuntutan mencabut dwi fungsi ABRI. Saat itu, ABRI dinilai terlalu jauh mendominasi dalam tata kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga perlu adanya perubahan dalam bentuk reformasi TNI.

Dengan semangat reformasi, tidak ada salahnya apabila dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004, mengingat UU TNI itu masih menyimpan sejumlah pasal yang dapat dikategorikan multitafsir, debatabel dan tumpang tindih dalam tataran implementasinya.


Sumber : Tribunnews

Indonesia To Send Peacekeeping Battalion to Darfur

JAKARTA-(IDB) ; The Indonesian Military [TNI] will send a battalion of peacekeepers to Darfur, Sudan, to keep the peace amid rebel and tribal fighting in the African nation, a TNI general has said.

“The UN has asked for one battalion of our peacekeeping troops for Darfur, and of course we are ready for the request,” Indonesian Peacekeeping Center chief Brig. Gen. Imam Edy Mulyono told The Jakarta Post in his office in Cilangkap, East Jakarta on Thursday.

According to Imam, the TNI currently has five observers and a staff officer in Darfur and three observers in South Sudan.

The UN has previously said that 2.7 million people were driven from their homes in Darfur after years of fighting between ethnic African rebels, government forces and Arab militias.

The conflict broke out in 2003, when two rival groups, the Sudan Liberation Movement/Army (SLM/A) and the Justice and Equality Movement (JEM) groups in Darfur, took up arms, accusing the Sudanese government of oppressing non-Arab Sudanese in favor of Sudanese Arabs.

The ensuing conflict has been allegedly called the Darfur Genocide.

“For the first time, Indonesia will send one battalion of our peacekeepers to this country,” Imam said, adding that Indonesia should be proud that the UN had shown trust in the nation in asking it to send additional peacekeepers.

To fulfill the request, the TNI would deploy its stand-by peacekeeping force, which will undergo training starting on June 12 at the Indonesian Peace and Security Center (IPSC) in Sentul, West Java.

The center is Southeast Asia’s largest international training facility for UN peacekeeping forces.

“We’ve just recruited new peacekeepers of high standards. After some training, they will be ready to serve as peacekeepers in the conflict zone,” Imam said.

Other than the Darfur deployment, Imam said that the TNI was in the process of sending three MI-17 helicopters along with 100 support troops to the Democratic Republic of the Congo to support UN peacekeeping operations. “The process is almost complete.”

Indonesia first sent peacekeepers to the Democratic Republic of Congo (DRC) in 1957 under the aegis of the Garuda Contingent, which has since been the official designation for TNI troops assigned to peacekeeping missions.

Since then, Indonesia has sent 24,284 troops to several conflict zones, including Cambodia, the Middle East, Lebanon and Bosnia.

Indonesia currently has 175 peacekeepers stationed in the Congo, 1,446 in Lebanon and 167 in Haiti, according to the Defense Ministry.

The nation is on the list of the top 15 countries contributing troops to UN peacekeeping operations.

The country is planning to increase participation to 4,000 to become one of the world’s top 10 contributors.

The UN has 15 peacekeeping missions and one non-peacekeeping mission, in Afghanistan.

There are 121,000 personnel deployed on the missions, consisting of 90,000 troops, 15,000 police officers and the remainder as civilian staff.

Source : JakartaPost