ANALISIS-(IDB) : Pekan akhir di bulan Maret 2012 ini tepatnya tanggal 26 Maret 2012 akan berlangsung debat hangat di Komisi I DPR antara Kemhan dan petinggi Komisi I yang mengurusi pertahanan. Debat itu tentu menyangkut pada tema panas yang diributkan belakangan ini yakni pengadaan alutsista MBT Leopard, Sukhoi dan Fregat ex Brunai. Kita berharap debat hangat itu bisa diliput secara live di media layar kaca agar publik dapat mengetahui siapa yang jujur siapa yang makan bubur lalu terbujur.
Gerak cerita ketiga jenis alutsista itu sudah banyak diketahui, dan yang menggerakkanya tentu LSM dan segelintir anggota Komisi I DPR. Pihak lain yang ikut menyebarkannya sudah tentu media. Kalau mau di urut proses pengadaan alutsista sesungguhnya sudah diawali mulai dari persetujuan anggaran dan ketersediaan anggaran. Misalnya untuk pengadaan Sukhoi batch 3, sudah jauh hari disetujui dan disediakan anggaran sebesar US$ 470 juta untuk 6 Sukhoi, berikut paket suku cadangnya termasuk pengadaan 12 mesin Sukhoi, program pelatihan pilot dan teknisi.
Sukhoi TNI AU, ada tambahan 6 unit lagi untuk capai 1 skuadron |
Lalu muncul keributan karena perbedaan kalkulasi. Pihak yang mengklaim mengatakan harga 1 Sukhoi paling tinggi US$ 70 juta maka jika dikalikan enam didapat angka 420 juta dollar. Elemen lain tak dihitung, kontrak yang sudah di sign tak dilirik, pasal demi pasal perjanjian tak jua dibaca, yang dibaca adalah kalimat-kalimat penuh kecurigaan. Yang distabilo adalah selisih US$ 50 juta lalu didefinisikan sebagai mark up. Angka di kisaran ini pun lalu dijual ke khalayak dengan headline memojokkan.
Sejatinya mengkritisi itu sebuah keniscayaan yang memang harus ada untuk menyeimbangkan neraca kewajaran, kehalalan dan kepastian nilai. Namun apabila nuansa itu melewati ambang batas kewajaran lalu terkesan ambisius dan menghegemoni situasi, rasanya kok ada sesuatu yang menyiratkan, tentu ada energi yang membiayai suara hegemoni itu. Bahasa lugasnya, siapa di belakang mereka, siapa aktor intelektualnya.
Aura buruk sangka adalah wajah keseharian lembaga swadaya masyarakat, padahal hakekat kehadiran LSM adalah sebagai wadah penyeimbang dan koridor kontrol. Wilayah teritori pikir, kerja dan kelakuan mayoritas LSM saat ini adalah bagaimana memposisikan diri sebagai pihak yang berseberangan lalu menghantam, tak peduli apakah argumennya benar, tak peduli apakah dana yang didapat justru dari orang yang ada diseberangnya.
Pernahkah kita melihat anatomi LSM secara komprehensif, bagaimana dan darimana sumber dananya. Pernahkan kita melihat laporan keuangan tahunan LSM. Pernahkah kita melihat siapa-siapa donaturnya. Tak akan kita dapatkan itu. Esensi keseharian LSM bisa dilihat dari rupa wajahnya berlagak seperti malaikat dan dewa penolong tetapi jati dirinya dan jati hatinya tak lebih dari predator yang bermerk maju tak gentar membela yang bayar.
Soal Tank Leopard misalnya, menjadi sebuah ketololan struktural yang ditonjolkan manakala suara-suara LSM yang dicorongkan melalui media dan anggota Komisi I, dengan argumen bernada ultimatum bahwa tank Leopard tak cocok dengan kontur bumi dan kebutuhan TNI AD. Bagaimana bisa orang yang bukan ahlinya, yang bukan user lalu mengatakan bahwa MBT itu tak cocok pada habitat Indonesia, lalu memaksakan kehendak dengan membawa dan mengatasanamakan rakyat dan nama wakil rakyat.
Menjual opini melalui lembaga swadaya masyarakat dan atau anggota parlemen dalam bingkai demokrasi saat ini menjadi sebuah komoditi yang diperdagangkan demi untuk cairnya sebuah rekening bayaran yang berasal dari sumber yang menginginkan jualannya laku. Contoh lugasnya adalah bagaimana mungkin sebuah LSM yang ngurusi wilayah kepolisian lantas tiba-tiba menyeberang ke teritori yang bukan urusannya lalu mengibarkan genderang pernyataan, tolak Leopard, usut Sukhoi, jangan ambil Ragam Class. Lalu dengan mudahnya media mengutip tanpa pernah mengaudit kewajaran teriakan pemilik genderang.
Kita telah terjebak dalam sebuah penggiringan pembenaran tanpa perlu mengklarifikasinya. Penyebaran opini mengatasnamakan kebenaran dan menjual dagangannya ke rakyat agar rakyat terhasut lalu ikut membenci. Jualan inilah yang diecer keliling sebelum debat hangat pekan depan. Meminjam bunyi sebuah iklan, orang pintar minum tolak angin, orang bodoh minum minyak angin. Pesannya adalah jangan lagi kita terkesima dengan pernyataan LSM atau anggota DPR yang berwajah laksana malaikat sejatinya berhati ifrit dengan menjual opini ke khalayak dan mengatasanamakan khalayak pula. Merasa paling benar dan merasa paling berjasa dalam membenamkan lawannya.
Mestinya setelah perdebatan selesai dan kepada mereka yang menuduh itu perlu dilakukan klarifikasi. Misalnya dapat data dari mana, perlu melakukan konperensi pers untuk menetralisir keadaan di ruang publik, siapa yang memberi dana untuk mengatahui siapa di belakang mereka, mengapa melontarkan tanpa mengkalirifikasi lebih dulu. Dan sejumlah pertanyaan ini mestinya mampu di jawab oleh pihak seberang dengan rela hati dan jujur. Tetapi jawaban khasnya selalu, itu adalah rahasia dapur, urusan rumah tangga, sebagai tameng menutupi aura busuknya.
Kita tetap meyakini bahwa Kemhan berada pada jalur yang wajar. Kita tidak hendak mengatakan Kemhan berada dalam jalur yang benar. Ini mengacu pada internal control, standar akuntasi keuangan terutama kriteria laporan keuangan after audit dengan sebutan wajar tanpa pengecualian atau wajar dengan pengecualian. Untuk diketahui Kemhan saat ini sedang dalam proses audit tahun buku 2011 oleh BPK untuk menilai kriteria itu.
Oleh sebab itu mari berpikir dan bersikap jernih dalam meletakkan nilai kewajaran setiap proses dan prosedur. Bukankah setiap perbedaan pandang dan asumsi dapat dilakukan di ruang rapat Komisi I DPR melalui sidang terbuka yang dapat disaksikan khalayak. Masih ingat kasus Tanjung Datu yang dihebohkan media lewat hasutan seorang anggota DPR, tapi ternyata secara de facto dan de jure tak ada yang berubah, sementara rakyat sudah terhasut, tersulut. Bukankah ini yang disebut menjual fitnah ?
Sumber : Analisis