JAKARTA-(IDB) : Industri produk kedirgantaraan kebanggaan bangsa PT Dirgantara Indonesia (PT DI) saat ini sudah memasuki tahun ke 36, tepatnya tanggal 23 Agustus 1976 ketika masih bernama Nurtanio diresmikan oleh Presiden Soeharto.
Langkah sejarah perusahaan strategis ini mengalami fase kebanggaan sekaligus keharuan, ketika titik kebanggaan mencapai kulminasi ditahun 1997 dengan memulai produksi pesawat komersial N250 turboprop berkapasitas 50-70 penumpang dan mengembangkan jet N2130 berkapasitas 100-130 penumpang.
Pada saat yang sama ”ultimatum” IMF pada krisis finansial tahun 1998 memaksa industri kedirgantaraan kita bertekuk lutut pada donatur berwajah kapitalis. Sekedar catatan pesawat penumpang N250 yang dijuluki Gatot Kaca terbang perdana 10 Agustus 1995 dan tanggal ini dijadikan sebagai Hari Teknologi Nasional.
Cerita pendirian Nurtanio diawali dengan kedatangan BJ Habibie bersama 17 insinyur dari Jerman dengan restu Dirut Pertamina dan panggilan pulang Presiden Soeharto tahun 1975 untuk bekerja di ATP (Advance Technology Pertamina). Sementara itu di Bandung sudah ada Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio. Atas restu Pak Harto Habibie diperkenankan membuat industri pesawat terbang berskala internasional, lalu ATP dan Lembagai Industri Penerbangan Nurtanio digabung dan diresmikan 23 Agustus 1976.
Dalam langkah perjalanannya Nurtanio kemudian berganti baju menjadi PT IPTN (Industri Pesawat terbang Nusantara) tahun 1986, kemudian ganti baju lagi menjadi PT DI (Dirgantara Indonesia) tahun 2000. Pada saat ganti baju yang terakhir itu perseroan ini sedang mengalami goncangan hebat sebagai akibat ultimatum IMF tadi, tidak ada kucuran dana segar dari Pemerintah, lalu tahun 2003 PT DI melakukan PHK masal kepada ribuan karyawannya. Tercatat waktu itu ada 16 ribu karyawan dikurangi menjadi hanya 4000 karyawan saja.
Tanggal 4 Oktober 2011 adalah penanda kebangkitan yang cukup signifikan bagi sebuah industri teknologi tinggi PT DI karena sahabat lamanya CASA Spanyol melalui bendera Airbus Military yang dimiliki European Aeronautic Defense and Space (EADS) melakukan ”pernikahan kembali” dengan memproduksi bersama pembuatan pesawat angkut militer NC 295. Pernikahan pertama adalah kerjasama produksi CN235. Kerjasama dengan Airbus Miltary ini akan memproduksi minimal 9 pesawat angkut militer berkapasitas 71 pasukan atau 49 peterjun payung, diproduksi secara paralel, 6 diantaranya dibuat di pabrik pesawat terbang milik Airbus Military di San Pablo Spanyol, 3 unit lagi diproduksi di Bandung. Sangat terbuka kemungkinan PT DI memproduksi lebih banyak NC295 untuk pasar Asia Pasifik.
Pesawat NC295 merupakan pengembangan dari CN235, punya kesanggupan membawa beban 9,2 ton sehingga masuk kategori medium military lift, badannya diperpanjang 3 meter sementara sayapnya tetap sama dan diperkuat dengan engine PW127G turboprop buatan Pratt &Withney, kekuatannya satu setengah kali CN235. Data Casa menunjukkan NC295 lebih irit bahan bakar dan perawatan dan sanggup terbang dengan daya jelajah 5.300 km dengan kapasitas bahan bakar 4,5 ton. Kemhan memesan 9 unit pesawat jenis ini untuk memperkuat skuadron angkut sedang dalam mobilitas rotasi pasukan dan penanggulangan bencana alam.
Pesanan Kemhan ini membuat PT DI menggeliat gairah setelah sebelumnya tanggal 26 Mei 2011 melalui program penyertaan modal negara (PMN) dengan persetujuan Komisi VI DPR, perusahaan ini digelontor dana konversi sebesar Rp 3,8 trilyun untuk memperbaiki posisi neraca keuangan. Rincian PMN itu adalah 1,42 T untuk konversi utang dan 2,38T untuk penyertaan modal sementara. Suntikan ini mampu menyegarkan wajah permodalan perseroan dari sebelumnya defisit 707 milyar rupiah menjadi plus 617 milyar.
Bulan Mei 2011 PT DI berhasil melakukan pengiriman pesawat produksinya CN235 jenis angkut militer VIP ke Senegal dengan nilai kontrak US$ 13 juta. Pesawat ini merupakan modifikasi dari CN 235 milik Merpati. Modifikasi yang dilakukan adalah dengan mengubahnya menjadi tipe pesawat militer, menganti mesin untuk menambah daya angkut dan penambahan sistem auto pilot TCAS. Ini adalah ekspor pertama sejak tahun 2008 dimana selama itu PT DI tidak mampu melakukan ekspor pesawat produksinya meskipun yang diekspor itu pesawat second yang diperbaharui.
Setelah ekspor ke Senegal, PT DI juga kembali mengirimkan 2 CN235 tipe patroli maritim yang dipesan angkatan laut Korea Selatan. Korea Selatan memesan 4 unit CN 235 patroli maritim yang dilengkapi dengan alat pendeteksi kapal, migrasi ikan, polusi tumpahan minyak dengan nilai kontrak US$ 94 juta. Semuanya akan diselesaikan tahun ini. Khusus dengan Korsel, PT DI ke depan diprediksi akan mendapat tambahan order CN 235 atau NC295 dalam jumlah banyak sehubungan dengan adanya kerjasama pertahanan yang erat antara RI dan Korsel. RI banyak memesan alutsista dari Korsel antara lain 16 jet latih tempur T50 Golden Eagle, pengadaan 3 kapal selam kelas Changbogo, upgrade 2 kapal selam dan lain-lain. Selama ini negeri ginseng itu sudah mengunakan 15 unit pesawat CN 235 buatan PT DI untuk keperluan operasi militernya.
PT DI saat ini sedang disibukkan dengan penyelesaian berbagai order alutsista udara untuk TNI, yaitu pembuatan 3 pesawat CN235 patroli maritim untuk TNI AL dan penyelesaian helikopter NAS-332 Super Puma untuk TNI AU. TNI AU juga memesan 1 unit CN235 MPA untuk skuadron intainya. Tak ketinggalan TNI AD sebagai pelanggan tetap PT DI memesan 8 unit helikopter jenis Bell 412 EP tipe serbu dan 8 unit dari tipe angkut, kemudian helikopter jenis Fennec AS-550 sebanyak 8 unit. Masih banyak paket-paket alutsista yang diorder oleh TNI misalnya pembuatan SUT Torpedo tipe 364 MKO untuk kapal selam TNI AL dan paket simulator terjun payung untuk TNI AD. Dari semua rangkaian order itu diprediksi sampai tahun 2014 PT DI akan mendapat peluang revenue sebesar Rp 9,23 Trilyun, sebuah angka yang mampu memberikan nilai geliat gairah bagi industri kedirgantaraan dalam negeri.
Ini semua tidak terlepas dari kebijakan Pemerintah bersama DPR dalam program pengadaan alutsista TNI yang menggelontorkan dana 100 Trilyun rupiah dengan opsi tambahan 50 trilyun selama periode 2010-2014, dengan mengggandeng industri strategis pertahanan dalam negeri. Selain PT DI, PAL dan Pindad juga mendapat order luar biasa dalam pengadaan alutsista TNI. PAL mendapat order pembuatan puluhan Kapal Cepat Rudal, Kapal Landing Ship Tank, Kapal LPD, integrasi sistem tempur KRI dan kerjasama pembuatan kapal selam dengan Korsel. Pindad mendapat pesanan ribuan senjata SS2, ribuan roket R-Han, ratusan Panser Anoa, kerjasama produksi Panser Canon Tarantula dengan Korsel dan Panser Fnss dengan Turki.
Untuk diketahui selama 36 tahun masa kehadirannya PT DI telah memproduksi lebih dari 300 pesawat terbang dan helikopter berbagai jenis seperti NC-212, CN235, NBO105, NBELL 412, NAS332. Juga mampu memproduksi 60 ribu unit roket dan 160 unit torpedo, 13 ribu unit komponen pesawat terbang F16, Boeing, Airbus. Sejalan dengan itu PT DI mampu melakukan penguasaan teknologi pabrikasi Casa, Boeing Company, Fokker dan Bell Helicopter termasuk product support, maintenance dan overhaul. Dalam quality assurance sudah diakui oleh General Dynamic dengan persyaratan US Military Specification MIL-1-45208A, Bae, Lockhead, Boeing Company, Daimler Benz Aerospace dan DGAC.
Geliat gairah PT DI sebagai simbol teknologi tinggi yang dimiliki republik ini merupakan momentum kebangkitan kembali industri kerdigantaraan kita. Apalagi saat ini sudah ada kerjasama pengembangan proyek jet tempur KFX/IFX bersama Korsel dimana Indonesia mendapat bagian 50 unit jet tempur generasi 4,5 dan PT DI akan menjadi produsen dan pemasar jet tempur dengan kualitas diatas F16 mulai tahun 2020. Simbol teknologi tinggi bangsa ini kembali bersinar terang memberikan nilai kebanggaan dan harapan pada generasi penerus bangsa.