Pages

Sabtu, Oktober 01, 2011

Menguji Kesaktian Pancasila

JAKARTA-(IDB) : Tepat 46 tahun silam, 30 September 1965, peristiwa pembantaian 7 jenderal TNI oleh PKI tercatat dalam catatan perjalanan bangsa Indonesia yang dikenal dengan Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (PKI). Dengan kesigapan TNI G30S/PKI dapat ditumpas. Sejak saat itulah tanggal 30 September diperingati sebagai Gerakan Pengkhianatan PKI dan 1 Oktober diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara telah terbukti kebal terhadap ideologi komunis PKI.

Gerakan PKI hampir setengah abad lalu hampir saja meruntuhkan pondasi bangsa Indonesia yang dibangun dengan dasar Pancasila. Kini, setelah 46 tahun berlalu, PKI dengan ideologi komunisnya tidak lagi menjadi gerakan masif dan terbuka. Namun Ideologi komunis terus bergerilya. Bahkan beberapa bulan silam lambang palu arit sebagai simbol PKI terlihat di salah satu dinding kampus ternama di kota Makassar. Ideologi komunis masih menjadi bahaya laten yang bisa saja kembali menguji kesaktian Pancasila. Namun, seiring arus globalisasi global, ancaman bangsa Indonesia kini tidak lagi hanya pada bahaya laten PKI, tapi juga berasal dari berbagai dimensi.

Ancaman NKRI

Dalam konsep pertahanan negara yang terdapat dalam Buku Putih Departemen Pertahanan RI tahun 2008, dijelaskan kategorisasi ancaman bagi bangsa Indonesia. Persepsi Indonesia tentang ancaman adalah setiap usaha dan kegiatan, baik dari luar maupun dari dalam negeri, yang dinilai mengancam atau membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan bangsa.

Berdasarkan sifat ancaman, hakikat ancaman digolongkan ke dalam ancaman militer dan ancaman nirmiliter. Ancaman militer adalah ancaman yang menggunakan kekuatan bersenjata dan terorganisasi yang dinilai mempunyai kemampuan membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa.

Ancaman militer dapat berupa agresi, pelanggaran wilayah, pemberontakan bersenjata, sabotase, spionase, aksi teror bersenjata, ancaman keamanan laut dan udara, serta konflik komunal. Sedangkan Ancaman nirmiliter pada hakikatnya ancaman yang menggunakan faktor-faktor nirmiliter yang dinilai mempunyai kemampuan yang membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa. Ancaman nirmiliter dapat berdimensi ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan informasi, serta keselamatan umum.

Ancaman militer dapat dilihat dari masalah penanganan perbatasan, persoalan pencurian SDA di laut, yaitu pencurian ikan (illegal fishing). FAO (Food and Agriculture Organization) memperkirakan Indonesia memperoleh kerugian mencapai Rp30triliun/tahun.

Dengan estimasi tingkat kerugian sekitar 25 persen dari total potensi perikananyang dimiliki Indonesia sebesar 1,6 juta ton per tahun. Laut Cina Selatan, Perairan Sulawesibagian utara dan Laut Arafura merupakan tempat yang sering menjadi tindakan pencurianikan oleh kapal-kapal asing yang sebagian besar berasal dari China, Thailand dan Filipina. (www.interpol,go.id, 9/3/2011).

Ancaman bagi NKRI dari berbagai dimensi kehidupan dalam 25 tahun ke depan diprediksi oleh Connie R. Bakrie (2007) dalam bukunya “Pertahanan Negara dan Postur TNI Ideal dimana ada tiga level ancaman yaitu ancaman Internasional, regional dan nasional. Pada level internasional, bentuk ancaman berupa globalisasi ekonomi dengan tipe ancaman berupa hegemoni ekonomi.

Pada level regional, di kawasan Asia Pasifik berupa ancaman ekonomi kesehatan. Sedangkan di kawasan Asia Tenggara bentuk ancaman  berupa terorisme, human trafficking, perdagangan obat, penyelundupan ekonomi perbatasan.

Pada level nasional, berupa konflik suku agama ras antar golongan (SARA), Separatisme, Pengangguran, Kemiskinan, Bencana Alam, Pengungsian, Illegal Logging, Illegal Fishing dan Pulau-pulau Kosong.

Jika diasosiasikan sebagai seorang gadis, Indonesia termasuk gadis yang “seksi” dengan “pakaian mini” yang memperlihatkan keseksian “tubuhnya”. Potensi sumber daya alam yang terhampar di seluruh penjuru tanah air menjadi “magnet” yang “menggoda” negara-negara lain untuk terus mengamati, menyentuh bahkan menjarah Indonesia. Untuk memproteksi Indonesia yang seksi ini, peran seluruh komponen bangsa mutlak diperlukan untuk mempertahankan mahkota bangsa agar tidak kehilangan harga dirinya sebagai sebuah bangsa dan kemandiriannya sebagai bangsa yang berdaulat. Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang berada di garda terdepan dan tertinggi dalam piramida pertahanan negara mempunyai tugas yang amat mulia dalam rangka menjaga mahkota Indonesia.

Strategi Pertahanan

Panglima perang China, Sun Tzu, pada masa lampau pernah berpesan dalam bukunya Art of War: “Dalam peperangan, janganlah mengandalkan pada kegagalan musuh untuk tidak datang, malainkan pada kesiapan diri untuk menyambutnya; jangan mengandalkan pada kegagalan musuh untuk tidak menyerang, tetapi pada kemampuan diri untuk membangun pertahanan yang tangguh”.

Jika dikontekskan dalam kondisi kekinian Indonesia, bangsa ini penting untuk mempersiapkan segala “amunisi” untuk mempertahankan kedaulatan bangsa Indonesia. Untuk menyiapkan “amunisi” tersebut, bangsa Indonesia tidak selamanya bersandar pada anggaran pertahanan yang terbatas.

Menteri Pertahanan, Purnomo Yusgiantoro menjelaskan bahwa TNI membutuhkan anggaran sebesar Rp150 triliun sampai 2014 untuk mencapai pemenuhan kekuatan pokok minimal (www.topix.com, 30/9). Pemerintah Indonesia menyediakan dana US$5 miliar atau sekitar Rp60 triliun untuk pengadaan Alat Utama Sistem Persenjataan atau Alutsista terutama untuk meningkatkan keamanan di wilayah perbatasan. Namun, untuk mengadakan anggaran pertahanan yang begitu besar, tentu harus mengorbankan anggaran publik, seperti pendidikan dan kesehatan yang juga membutuhkan biaya besar dalam membangun sumber daya manusia Indonesia sebagai amunisi dan pemikir (think tank).  

Menurut Donny Gahral Adian (2011), perang tidak lagi hanya mengandalkan kekuatan militer, prajurit berotot atau misil berpandu laser, melainkan diplomat yang cerdas dan tangkas dalam bernegosiasi. Hal ini diungkapkan oleh Sun Tzu: “biasanya seseorang yang sedang berperang menggunakan kekuatan langsung untuk melibatkan musuh, tetapi menggunakan kekuatan tidak langsung untuk mencapai kemenangan”.  Nah, kekuatan tidak langsung adalah bagaimana menyiapkan sumber daya manusia Indonesia menjadi manusia-manusia cerdas melalui penguasaan teknologi, keahlian diplomasi dan penguasaan media.

Sun Tzu mengakui pentingnya personalia mengenai menilai situasi negara. Ada tiga segi pada fungsi penilaian situasi oleh personalia, antara lain: Pertama,  pengaruh moral penguasa. Menurutnya, pengaruh morallah yang membuat rakyat sepenuhnya mendukung penguasa mereka, sehingga dengan sukarela mendampinginya kalau perlu sampai mati tanpa mempedulikan bahaya. Gerakan Ganyang Malaysia sebagai bukti bahwa bangsa ini rela membubuhkan tanda tangan dengan tinta darah untuk menjadi pejuang perang sebagai bukti nasionalisme mereka kepada negara.  

Kedua, kepanglimaan komandan. Kepanglimaan komandan menunjuk kepada sifat-sifat kearifan, ketulusan, kedewasaan, keberanian dan keteguhan hati panglima. Karakter panglima yang arif dan teguh akan terinternalisasi pada karakter prajuritnya.

Ketiga, doktrin. Doktrin menunjuk kepada organisasi, kendali, prosedur pemberitahuan, susunan kepangkatan militer dan tanggungjawabnya, pengaturan dan pengelolaan jalur pasokan serta pengadaan keperluan bagi tentara. Nah, organisasi militer dengan manajemen yang modern akan berdampak pada perencanaan strategis yang matang dan pengendalian negara.

Kesaktian Pancasila yang telah terbukti 46 tahun lalu kini diperhadapkan lagi pada kompleksnya ancaman bagi kelangsungan NKRI. Bukan hanya ancaman level nasional pada bahaya laten PKI, melainkan kesaktian pancasila dalam menangkap koruptor, mengurangi kemiskinan, menyediakan lapangan pekerjaan, memberikan pendidikan murah, menangkal terorisme dan menangkal pornografi*.
Sumber: Fajar

Rafale, Hornet, dan Gripen NG Bersaing di Brasil

Pesawat tempur Mirage 2000 buatan Perancis kini menjadi ujung tombak AU Brasil.
BRASIL-(IDB) : Menteri Pertahanan Brasil Celso Amorim mengatakan, negaranya dalam kebutuhan mendesak untuk membeli pesawat tempur baru. Amorim mengatakan, armada pesawat tempur yang dimiliki Brasil saat ini sudah makin menua dan dikhawatirkan tak lagi bisa berfungsi optimal.

"Pada akhir 2013,12 (pesawat tempur) Mirage di Pangkalan Udara Anapolis sudah tak ada yang berada dalam kondisi laik terbang penuh. Ini adalah sesuatu yang benar-benar mendesak, sangat penting," tutur Amorim, Kamis (29/9/2011). Ia menambahkan, Brasil membutuhkan pesawat tempur yang memadai untuk melindungi kawasan Amazon dan perbatasan.

Sedikitnya tiga tipe pesawat tempur bersaing untuk memenangkan kontrak pembelian senilai 4-7 miliar dollar AS dari pemerintah Brasil. Yakni Rafale buatan pabrik Dassault dari Perancis, F/A-18 E/F Super Hornet buatan Boeing dari AS, dan Gripen NG (Next Generation) buatan Saab dari Swedia.

Pesawat-pesawat ini nantinya akan menjadi ujung tombak Angkatan Udara Brasil untuk mengamankan wilayah hutan Amazon yang sangat luas dan sumur-sumur pengeboran minyak lepas pantainya selama tiga dekade mendatang. Saat ini, AU Brasil mengandalkan tugas itu pada 12 pesawat Mirage 2000 B/C buatan Perancis, dan 55 pesawat F-5E buatan AS.

Brasil seharusnya melakukan pengadaan 36 pesawat tempur baru tersebut tahun ini. Namun, rencana itu ditunda hingga tahun depan karena kondisi krisis ekonomi dunia.

Amarim mengatakan, kunci pemilihan Brasil adalah pada masalah transfer teknologi. Pabrikan yang bersedia membagi teknologi pembuatan pesawat tempurnya dengan Brasil akan mendapat prioritas untuk dibeli produknya. Ini semua terkait dengan ambisi raksasa ekonomi baru dunia itu untuk mengembangkan kemampuan produksi pesawat tempur sendiri.

Brasil sudah memiliki industri pesawat terbang yang mapan, yakni Embraer, tetapi baru memproduksi pesawat-pesawat penumpang komersial dan pesawat-pesawat latih tempur.

Sumber: Kompas

China Launches First Module For Space Station

BEIJING-(IDB) : China took its first step towards building a space station on Thursday when it launched an experimental module ahead of National Day celebrations.

Tiangong-1, or "Heavenly Palace", took off on schedule shortly after 9:15 pm (1315 GMT) from the Gobi desert in China's northwest, propelled by a Long March 2F rocket, ahead of China's National Day on October 1.

The unmanned 8.5-tonne module will test a number of space operations as a preliminary step towards building a space station by 2020.

Chinese Premier Wen Jiabao was at the launch centre for the take-off, while President Hu Jintao watched from a space flight control centre in Beijing, the state Xinhua news agency said.

Ten minutes after launching, the Tiangong-1 separated successfully from its carrier rocket at a height of around 200 kilometres (125 miles) before opening its two solar panels, Xinhua said.






China sees its ambitious space programme as a symbol of its global stature and state newspapers devoted several pages to the launch, hailing it as a "milestone" for the country.

US experts, quoted by Chinese state media, were more reserved in their reaction to the launch.
"Tiangong-1 is the next step in China's slow-paced but steady effort to achieve human spaceflight capability," John Logsdon, a space policy expert at George Washington University, told Xinhua.

"By itself it is not a major step forward, but is important to China's demonstrating rendezvous and docking technologies," he said.

Tiangong-1, which has a two-year lifespan in space, will receive the unmanned Shenzhou VIII spacecraft later this year in what would be the first Chinese docking in space.

If that succeeds, the module will then dock with two other spacecraft -- Shenzhou IX and X -- in 2012, both of which will have at least one astronaut on board.

The technology for docking in space is hard to master because the two vessels, placed in the same orbit and revolving around Earth at some 28,000 kilometres per hour, must come together progressively to avoid destroying each other.

French researcher Isabelle Sourbes-Verger said that a correctly functioning docking system would put China "in a potential position to one day access the International Space Station (ISS)."

But she cautioned that this was not likely to happen in the next five years.


China, which has only been open to the world for some 30 years, is playing catch-up in the space arena.

Just like its first manned spaceflight in 2003, the planned space docking later this year will emulate what the Americans and Russians achieved in the 1960s.

China aims to finish its space station, where astronauts can live autonomously for several months as they do on the ISS or the former Russian Mir, by 2020.

Beijing began its manned spaceflight programme in 1990, after it bought Russian technology that enabled it to become the third country to send humans into space, after the former Soviet Union and the United States.

On its national day last year, China launched its second lunar probe, Chang'e-2, and the first Chinese probe destined for Mars is due to be launched by a Russian rocket this autumn.

It is unclear whether China plans to send humans to the moon, particularly after the United States said it would not return there.

 

But the official China Daily newspaper quoted Wu Ping, a spokeswoman for China's manned space programme, as saying that the Asian nation was doing "concept research and preliminary feasibility studies on manned moon landings."

She added there was currently no set timetable for such a landing.

Source: Defencetalk

PT. DI Siap Produksi Pesawat Amfibi

Saat di darat
BANDUNG-(IDB) : PT Dirgantara Indonesia (PT DI) akan memproduksi pesawat amfibi melalui kerja sama under license dengan perusahaan pesawat Jerman Dornier Seawings.

"Saat ini, PT DI sedang mempersiapkan produksi dan customer support untuk mendukung layanan purnajual. Dan, pesawat amfibi tersebut akan mulai dipasarkan tahun 2012," kata Direktur Teknologi dan Pengembangan PT Dirgantara Indonesia, Andi Alisyahbana di Bandung kemarin.

Menurutnya, pesawat amfibi memiliki potensi ekonomis dan cocok dengan kondisi Indonesia yang 62% konsentrasi dan perekonomian masyarakatnya ada di wilayah pesisir laut, danau, dan sungai. Selain itu, 70% wilayah nasional merupakan perairan. 

"Jadi, apa pun kendaraan yang bisa memiliki kemampuan water base transportation pasti akan memiliki potensi ekonomi yang sangat besar," ujarnya.

Market penggunaan pesawat amfibi sangat besar. Menurutnya, bupati yang biasanya sulit mencapai pelosok dan membutuhkan waktu hingga 2-3 hari menjangkau daerahnya dengan pesawat itu nantinya mereka hanya membutuhkan waktu kurang dari sejam.

Saat di air
Andi menuturkan pesawat amfibi itu mampu mendarat di darat dan di air sehingga bisa jadi solusi bagi Indonesia yang merupakan negara kepulauan. Menurutnya, bila membuat landasan pesawat dan airport kan membutuhkan biaya sangat mahal dan lahan yang luas.

"Pesawat amfibi tersebut membutuhkan amphibiport untuk tempat menurunkan penumpang dengan luas lahan hanya sebesar pesawat itu sendiri. Rasio perbandingannya dengan pembuatan airport biasa adalah sekitar 1 : 8," tuturnya.

Pesawat amfibi dirancang dengan menggunakan composite material atau sejenis fiberglass khusus (tahan karat dan air laut). Pesawat diperuntukkan empat belas penumpang dan dilengkapi dua mesin dan dapat melewati ombak tinggi (stage 3 operation) dengan jarak take-off dan landing relatif pendek yaitu take- off 770 meter, sedangkan landing memerlukan 385 meter. 

Kementerian Pertahanan Siap Produksi Massal 1.000 Roket R-HAN 122

R-HAN 122 adalah roket hasil karya anak bangsa. Roket itu diwujudkan lewat kerja keras selama enam tahun.

JAKARTA-(IDB) : Kementerian Pertahanan (Kemhan) berencana mengadakan 1.000 Roket R-HAN 122. Program itu bertujuan memenuhi kebutuhan roket di lingkungan Kemhan.

Sekjen Kemhan Marsdya TNI Eris Heryanto mengatakan, program pengadaan 1.000 Roket R-HAN 122 dimulai pada Tahun Anggaran 2011. Untuk memuluskan rencana itu, kata Eris, Kemhan telah membentuk tim.

“Program itu dikoordinasi oleh Kemhan dengan membentuk konsorsium roket untuk TNI AL dan TNI AD,” kata Eris saat Rapat Koordinasi Penentu Kebijakan, Pengguna dan Produsen Bidang Alutsista ke XIV dan Bidang Non-Alutsista, di Kantor Kementerian Pertahanan, Senin (26/9).

Menurut Eris, saat ini Kemhan sudah melakukan perjanjian kerjasama dengan Industri Pertahanan Dalam Negeri terkait pengadaan roket tersebut.

“Perjanjian kerjasama itu juga sudah ditandatangani pada sidang ketiga KKIP (Komite Kebijakan Industri Pertahanan) 27 Juni 2011.”

Dikatakan Eris, program 1.000 roket tersebut harus terealisasi dan berlanjut. Sebab, Indonesia membutuhkan penguasaan teknologi roket dan rudal sejalan dengan program akuisisi yang telah direncanakan dalam shoping list (daftar belanja) hingga Tahun Anggaran 2014.

Kendati sudah terncana dan sudah dilakukan penandatanganan kesepakatan kerjasama, Eris meminta agar semua pihak yang memiliki kaitan langsung dengan pengadaan roket tersebut memiliki komitmen untuk merealisasikannya.

“Ini perlu ada komitmen dari kita.”

R-HAN 122 adalah roket hasil karya anak bangsa. Roket itu diwujudkan lewat kerja keras selama enam tahun. Tiga tahun pertama adalah penelitian yang dilakukan institusi LAPAN, Pindad, PT Dirgantara Indonesia, Kemhan dan Menristek. Tiga tahun selanjutnya adalah proses kolaborasi.

R-HAN berkaliber 122 mm, dengan kecepatan maksimum 1,8 mach. Anggaran yang dibelanjakan untuk riset dan kolaborasi selama enam tahun adalah Rp9 miliar.

Sumber: PelitaOnline

Iran Kian Mapan, Setelah Qader Kini Diperkuat Rudal Jarak Menengah Mersad

TEHRAN-(IDB) : Sebuah rudal canggih baru jarak menengah yang diberi nama 'Mersad' telah diserahkan secara resmi kepada angkatan laut Republik Islam Iran pada Kamis (29/9).
 
Panglima Markas Pertahanan Udara Khatam al-Anbia Brigadir Jenderal Ali Reza Sabahi-Fard mengatakan bahwa sistem rudal Mersad telah dirancang dan diproduksi oleh ahli dalam negeri Iran.

"Pusat kendali dan perintah dari sistem rudal sepenuhnya digital, canggih dan dilengkapi dengan simulator dan jaringan informasi terpadu dalam sistem pertahanan udara untuk melacak target," tambahnya.

Brigadir Jenderal Sabahi-Fard mencatat bahwa sistem rudal Mersad telah lolos semua tes penting dan kini dalam kondisi siap guna.

Sebelumnya, produksi massal rudal cruise laut Qader dan penyerahannya kepada Angkatan Laut Pasdaran dan militer Iran, dilakukan pada hari Rabu, (28/9) di hari terakhir peringatan Pekan Pertahanan Suci. Acara itu dihadiri oleh Menteri Pertahanan dan Dukungan Angkatan Bersenjata Iran, Brigjen Ahmad Vahidi. 

Dalam beberapa tahun terakhir, Iran berhasil menorehkan prestasi besar di sektor pertahanan dan mencapai swasembada dalam memproduksi peralatan militer penting dan sistem pertahanan.

Republik Islam Iran berulang kali meyakinkan bahwa kekuatan militernya tidak akan menimbulkan ancaman bagi negara-negara lain, karena Tehran mengadopsi sistem pertahanan defensif.

Bergabungnya rudal Mersad dan Qader meningkatkan kekuatan defensif Angkatan Laut Pasdaran dan militer Iran demi mempertahankan bangsa dan negara serta menjaga stabilitas kawasan. 

Sumber: Irib