JAKARTA-(IDB) : Tepat 46 tahun silam, 30 September 1965, peristiwa pembantaian 7 jenderal TNI oleh PKI tercatat dalam catatan perjalanan bangsa Indonesia yang dikenal dengan Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (PKI). Dengan kesigapan TNI G30S/PKI dapat ditumpas. Sejak saat itulah tanggal 30 September diperingati sebagai Gerakan Pengkhianatan PKI dan 1 Oktober diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara telah terbukti kebal terhadap ideologi komunis PKI.
Gerakan PKI hampir setengah abad lalu hampir saja meruntuhkan pondasi bangsa Indonesia yang dibangun dengan dasar Pancasila. Kini, setelah 46 tahun berlalu, PKI dengan ideologi komunisnya tidak lagi menjadi gerakan masif dan terbuka. Namun Ideologi komunis terus bergerilya. Bahkan beberapa bulan silam lambang palu arit sebagai simbol PKI terlihat di salah satu dinding kampus ternama di kota Makassar. Ideologi komunis masih menjadi bahaya laten yang bisa saja kembali menguji kesaktian Pancasila. Namun, seiring arus globalisasi global, ancaman bangsa Indonesia kini tidak lagi hanya pada bahaya laten PKI, tapi juga berasal dari berbagai dimensi.
Ancaman NKRI
Dalam konsep pertahanan negara yang terdapat dalam Buku Putih Departemen Pertahanan RI tahun 2008, dijelaskan kategorisasi ancaman bagi bangsa Indonesia. Persepsi Indonesia tentang ancaman adalah setiap usaha dan kegiatan, baik dari luar maupun dari dalam negeri, yang dinilai mengancam atau membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan bangsa.
Berdasarkan sifat ancaman, hakikat ancaman digolongkan ke dalam ancaman militer dan ancaman nirmiliter. Ancaman militer adalah ancaman yang menggunakan kekuatan bersenjata dan terorganisasi yang dinilai mempunyai kemampuan membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa.
Ancaman militer dapat berupa agresi, pelanggaran wilayah, pemberontakan bersenjata, sabotase, spionase, aksi teror bersenjata, ancaman keamanan laut dan udara, serta konflik komunal. Sedangkan Ancaman nirmiliter pada hakikatnya ancaman yang menggunakan faktor-faktor nirmiliter yang dinilai mempunyai kemampuan yang membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa. Ancaman nirmiliter dapat berdimensi ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan informasi, serta keselamatan umum.
Ancaman militer dapat dilihat dari masalah penanganan perbatasan, persoalan pencurian SDA di laut, yaitu pencurian ikan (illegal fishing). FAO (Food and Agriculture Organization) memperkirakan Indonesia memperoleh kerugian mencapai Rp30triliun/tahun.
Dengan estimasi tingkat kerugian sekitar 25 persen dari total potensi perikananyang dimiliki Indonesia sebesar 1,6 juta ton per tahun. Laut Cina Selatan, Perairan Sulawesibagian utara dan Laut Arafura merupakan tempat yang sering menjadi tindakan pencurianikan oleh kapal-kapal asing yang sebagian besar berasal dari China, Thailand dan Filipina. (www.interpol,go.id, 9/3/2011).
Ancaman bagi NKRI dari berbagai dimensi kehidupan dalam 25 tahun ke depan diprediksi oleh Connie R. Bakrie (2007) dalam bukunya “Pertahanan Negara dan Postur TNI Ideal” dimana ada tiga level ancaman yaitu ancaman Internasional, regional dan nasional. Pada level internasional, bentuk ancaman berupa globalisasi ekonomi dengan tipe ancaman berupa hegemoni ekonomi.
Pada level regional, di kawasan Asia Pasifik berupa ancaman ekonomi kesehatan. Sedangkan di kawasan Asia Tenggara bentuk ancaman berupa terorisme, human trafficking, perdagangan obat, penyelundupan ekonomi perbatasan.
Pada level nasional, berupa konflik suku agama ras antar golongan (SARA), Separatisme, Pengangguran, Kemiskinan, Bencana Alam, Pengungsian, Illegal Logging, Illegal Fishing dan Pulau-pulau Kosong.
Jika diasosiasikan sebagai seorang gadis, Indonesia termasuk gadis yang “seksi” dengan “pakaian mini” yang memperlihatkan keseksian “tubuhnya”. Potensi sumber daya alam yang terhampar di seluruh penjuru tanah air menjadi “magnet” yang “menggoda” negara-negara lain untuk terus mengamati, menyentuh bahkan menjarah Indonesia. Untuk memproteksi Indonesia yang seksi ini, peran seluruh komponen bangsa mutlak diperlukan untuk mempertahankan mahkota bangsa agar tidak kehilangan harga dirinya sebagai sebuah bangsa dan kemandiriannya sebagai bangsa yang berdaulat. Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang berada di garda terdepan dan tertinggi dalam piramida pertahanan negara mempunyai tugas yang amat mulia dalam rangka menjaga mahkota Indonesia.
Strategi Pertahanan
Panglima perang China, Sun Tzu, pada masa lampau pernah berpesan dalam bukunya Art of War: “Dalam peperangan, janganlah mengandalkan pada kegagalan musuh untuk tidak datang, malainkan pada kesiapan diri untuk menyambutnya; jangan mengandalkan pada kegagalan musuh untuk tidak menyerang, tetapi pada kemampuan diri untuk membangun pertahanan yang tangguh”.
Jika dikontekskan dalam kondisi kekinian Indonesia, bangsa ini penting untuk mempersiapkan segala “amunisi” untuk mempertahankan kedaulatan bangsa Indonesia. Untuk menyiapkan “amunisi” tersebut, bangsa Indonesia tidak selamanya bersandar pada anggaran pertahanan yang terbatas.
Menteri Pertahanan, Purnomo Yusgiantoro menjelaskan bahwa TNI membutuhkan anggaran sebesar Rp150 triliun sampai 2014 untuk mencapai pemenuhan kekuatan pokok minimal (www.topix.com, 30/9). Pemerintah Indonesia menyediakan dana US$5 miliar atau sekitar Rp60 triliun untuk pengadaan Alat Utama Sistem Persenjataan atau Alutsista terutama untuk meningkatkan keamanan di wilayah perbatasan. Namun, untuk mengadakan anggaran pertahanan yang begitu besar, tentu harus mengorbankan anggaran publik, seperti pendidikan dan kesehatan yang juga membutuhkan biaya besar dalam membangun sumber daya manusia Indonesia sebagai amunisi dan pemikir (think tank).
Menurut Donny Gahral Adian (2011), perang tidak lagi hanya mengandalkan kekuatan militer, prajurit berotot atau misil berpandu laser, melainkan diplomat yang cerdas dan tangkas dalam bernegosiasi. Hal ini diungkapkan oleh Sun Tzu: “biasanya seseorang yang sedang berperang menggunakan kekuatan langsung untuk melibatkan musuh, tetapi menggunakan kekuatan tidak langsung untuk mencapai kemenangan”. Nah, kekuatan tidak langsung adalah bagaimana menyiapkan sumber daya manusia Indonesia menjadi manusia-manusia cerdas melalui penguasaan teknologi, keahlian diplomasi dan penguasaan media.
Sun Tzu mengakui pentingnya personalia mengenai menilai situasi negara. Ada tiga segi pada fungsi penilaian situasi oleh personalia, antara lain: Pertama, pengaruh moral penguasa. Menurutnya, pengaruh morallah yang membuat rakyat sepenuhnya mendukung penguasa mereka, sehingga dengan sukarela mendampinginya kalau perlu sampai mati tanpa mempedulikan bahaya. Gerakan Ganyang Malaysia sebagai bukti bahwa bangsa ini rela membubuhkan tanda tangan dengan tinta darah untuk menjadi pejuang perang sebagai bukti nasionalisme mereka kepada negara.
Kedua, kepanglimaan komandan. Kepanglimaan komandan menunjuk kepada sifat-sifat kearifan, ketulusan, kedewasaan, keberanian dan keteguhan hati panglima. Karakter panglima yang arif dan teguh akan terinternalisasi pada karakter prajuritnya.
Ketiga, doktrin. Doktrin menunjuk kepada organisasi, kendali, prosedur pemberitahuan, susunan kepangkatan militer dan tanggungjawabnya, pengaturan dan pengelolaan jalur pasokan serta pengadaan keperluan bagi tentara. Nah, organisasi militer dengan manajemen yang modern akan berdampak pada perencanaan strategis yang matang dan pengendalian negara.
Kesaktian Pancasila yang telah terbukti 46 tahun lalu kini diperhadapkan lagi pada kompleksnya ancaman bagi kelangsungan NKRI. Bukan hanya ancaman level nasional pada bahaya laten PKI, melainkan kesaktian pancasila dalam menangkap koruptor, mengurangi kemiskinan, menyediakan lapangan pekerjaan, memberikan pendidikan murah, menangkal terorisme dan menangkal pornografi*.
Sumber: Fajar