Pages

Sabtu, Juni 04, 2011

Indonesia Buat Pesawat N250-R Dan N-219

JAKARTA -(IDB) :  Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan PT Dirgantara Indonesia (PTDI) saat ini tengah merancang dua buah pesawat berjenis N250R dan N-219.

"Pesawat N250R, pesawat dengan kelas 50 penumpang yang mempunyai keunggulan performa lepas landas dan mendarat yang kompetitif serta kenyamanan penumpang pada tempat duduk lapang serta kebisingan yang rendah," ungkap Sekjen Persatuan Insinyur Indonesia (PII), Heru Dewano, dalam keterangan persnya kepada okezone, Jumat (3/6/3011).

Heru menambahkan, pesawat tersebut disertifikasi di Indonesia untuk segera memasuki pasar domestik, yang kemudian disertifikasi Federal Aviation Administration (FAA) dan Joint Aviation Authorities (JAA).

Selain pesawat jenis tersebut, BPPT dan PTDI juga tengah merancang pesawat lain jenis N-219. Pesawat ini dirancang untuk memenuhi tantangan kondisi geografis Indonesia seperti kepulauan, pegunungan dan perbukitan, serta keterbatasan infrastruktur di daerah yang relatif terpencil pada landasan pendek dan minim fasilitas.

Selanjutnya, dalam memenuhi amanat undang-undang nomor 1 tahun 2009 mengenai pemberdayaan industri dan pengembangan teknologi penerbangan, UU tersebut menyerukan perlu adanya pengembangan standarisasi dan komponen penerbangan dengan menggunakan sebanyak-banyaknya muatan lokal dan alih teknologi.

Sumber: Okezone

Anggaran Penelitian Di Indonesia Sangat Minim

JAKARTA-(IDB) : Minimnya anggaran penelitian dan pengembangan (Litbang) bagi institusi baik pemerintah maupun swasta membuat pembangunan teknologi di Indonesia tertinggal dari negara lain.

Menurut Ketua Presidium Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Ilham A.Habibie, anggaran Litbang di Indonesia hanya 0,07% dari PDB. Jumlah ini jauh dibanding negara-negara lain.

"Anggaran negara Indonesia untuk Litbang sebesar 0,07% dari PDB, padahal anjuran UNESCO, 0,2%," kata Ilham saat menjadi pembicara seminar nasional "Inovasi Teknologi dan Perubahan Sosial", dalam Dies Natalis Ikatan Sarjana Katolik Indonesia ke-53, Jumat (3/6) di Jakarta.

Sebagai pembanding, tambahnya, anggaran litbang di China sebesar 1,3% dari PDB sementara di Israel sebesar 4,95% dari PDB.Tingginya anggaran litbang Israel ini membuat negara ini bisa memajukan industrinya dan beberapa bidang.

Ditambahkannya, swasta memiliki kontribusi yang sangat kecil dalam litbang di Indonesia. "Kalau swasta terlalu mengandalkan pemerintah, seringkali terjdi apa yang dilitbangkan tidak sesuai dengan yang dibutuhkan," ujar dia.

Dari hasil perbincangan dengan Menteri Negara Riset dan Teknologi, tidak hanya anggaran litbang yang minim, tetapi komunikasi antara pemerintah dengan swasta juga harus diperbaiki. Oleh karena itu, katanya, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan Menristek untuk memperbaiki inovasi teknologi.

Peran serta masyarakat dalam pembangunan riset dan teknologi juga masih minim. Padahal dengan teknologi bisa membantu memberdayakan masyarakat. "Masyarakat belum seluruhnya bisa berpartisipasi, mereka lebih menjadi pengamat atau orang yang lebih tertinggal," ujar dia.

Karena itu, masyarakat Indonesia diharapkan tidak terlena dengan kondisi industri saat ini yang dikuasasi oleh orang asing. Masyarakat utamanya pengusaha harus mulai membuat inovasi membangun industri nasional seperti halnya India dan China.

Sumber: Jurnas

Alutsista, Pemerintah Dinilai Diskriminatif

JAKARTA-(IDB) : Anggota Komisi I DPR (bidang Pertahanan, Intelijen, Luar Negeri)  asal Fraksi Partai Golkar, Fayakhun Andriadi, menilai, pemerintah terkesan diskriminatif dalam pengembangan dan penguatan alat utama sistem persenjataan (alutsista) nasional.
"Dalam kenyataannya, porsi belanja (anggaran pertahanan) lebih besar untuk biaya angkatan darat, sementara biaya untuk angkatan laut dan udara lebih kecil, padahal dua pertiga wilayah kita laut," ujarnya di Jakarta, Jumat (3/6/2011).
Rendahnya keberpihakan pemerintah bukan hanya dari segi anggaran, tetapi juga di bidang regulasi. "Selama ini Indonesia telah memiliki regulasi berupa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Bahwasanya pertahanan negara disusun dengan memerhatikan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan (Pasal 3 Ayat 2)," ungkapnya.

Kenyataannya, menurut dia, porsi belanja itu lebih besar untuk biaya angkatan darat. "Sementara biaya untuk angkatan laut dan udara lebih kecil, dengan alasan kedua angkatan terakhir ini membutuhkan biaya dalam jumlah besar untuk pengadaan dan perawatan alutsista," ujar Fayakhun.

Padahal, belum lama ini Indonesia mengekspor pesawat CN 235 jenis angkut militer VIP ke negara Senegal Afrika. "Sebelumnya juga mengirimkan pesawat yang sama ke negara Burkina Faso, Afrika Barat," ungkapnya.

Menyusul kiriman pesawat ke Senegal itu, lanjutnya, Indonesia juga mengirimkan pesawat CN 235 jenis Maritime Patrol Aircraft (MPA) ke Korean Coast Guard pada hari berikutnya. Fayakhun mengatakan, selain jenis pesawat, Indonesia juga mengekspor persenjataan dan peralatan militer lainnya ke sejumlah negara, seperti Timor Leste, Korea Selatan, dan beberapa negara ASEAN, yaitu Filipina, Malaysia, Vietnam, Brunei.

"Khusus Timor Leste mendapatkan kredit ekspor (KE) 40 juta dollar dari Pemerintah Indonesia untuk pembelian dua kapal patrol cepat (fast patrol boat)," katanya.

Dua kenyataan tersebut, menurutnya, membuktikan Indonesia masih dapat berjaya di dunia internasional dengan hasil-hasil produk alutsista, terutama dari gatra, udara, dan laut. "Dalam pengertian lain, fakta ini juga isyarat bahwa sumber daya manusia dan mutu produk Indonesia dapat diunggulkan dan bersaing dengan yang dihasilkan oleh negara-negara lain di dunia," tandasnya. 

Sumber: Kompas

SAAB Receives Order from Thailand Regarding Upgrading of Combat Management and Fire Control System Systems

BANGKOK-(IDB) : The defence and security company Saab has received two orders from the Royal Thai Navy for the upgrading of combat management and fire control systems on two frigates of the Naresuan class. The total contract amount is MSEK 454.
The contracts involve upgrading the frigates with the latest generation of combat management and fire control systems, 9LV Mk4 and CEROS 200. Saab will also supply data-link equipment to the ships, which will allow communication between the frigates and Thailand’s existing Gripen aircraft and Saab 340s, the latter fitted with the ERIEYE airborne radar system.

“Saab will supply an advanced combat management and fire control system which allows interoperability between naval and airborne units, providing more effective use of resources and capabilities,” says Gunilla Fransson, Head of Saab’s Business Area Security and Defence Solutions.

Saab is the main contractor to the Royal Thai Navy, and as well as supply of its own systems, its tasks will include procurement of third-party systems and responsibility for integration of all existing and new systems.

“This is Saab’s first major agreement with the Royal Thai Navy and the business strengthens our position in Thailand, which is an important market for Saab,” says Gunilla Fransson.

The contracts mainly concern the Security and Defence Solutions business area as the supplier of the combat management and fire control systems and the Tacticall communication systems. The Electronic Defence Systems business area will supply the Sea Giraffe AMB surveillance radar system as well as data-link equipment for communication with Gripen and the ERIEYE Airborne Early Warning systems.

The contract will run between 2011 and 2014.
Source: Saab

Australia – AIM-120C-7 Advanced Medium Range Air-to-Air Missiles

WASHINGTON–(IDB) :  The Defense Security Cooperation Agency notified Congress Wednesday of a possible Foreign Military Sale to the Government of Australia of up to 110 AIM-120C-7 Advanced Medium-Range Air-to-Air Missiles and associated equipment, parts, training and logistical support for an estimated cost of $202 million.

The Government of Australia requested a possible sale of up to 110 AIM-120C-7 Advanced Medium-Range Air-to-Air Missiles, 10 AIM-120C-7 Air Vehicle-Instrumented, 16 AIM-120C-7 Captive Air Training Missiles, containers, weapon system support equipment, support and test equipment, site survey, transportation, repair and return, warranties, spare and repair parts, publications and technical data, maintenance, personnel training and training equipment, U.S. 

Government and contractor representative engineering, logistics, and technical support services, and other related elements of logistics support. The estimated cost is $202 million.

Australia is one of our most important allies in the Western Pacific. The strategic location of this political and economic power contributes significantly to ensuring peace and economic stability in the region. Australia’s Government policy places interoperability with US Forces as an important goal and objective for equipment acquisition. 

Accordingly, and in line with the overall procurement strategy, Australia seeks an acquisition FMS case which supports the procurement, integration and introduction into service of the AIM-120C-7 system for the F/A-18F Australian Super Hornet.

The proposed sale will allow the Australian Defense Force to complete Australia’s F/A-18 program under their Project AIR 5349. Phase I allowed acquisition of F/A-18 Block II aircraft and Phase II is for the acquisition of weapons. This proposed sale will provide standoff weapon capability required for Bridge Air Combat Capability for the Royal Australian Air Force. 

In addition, the upgrade is being viewed as an important step in maintaining interoperability with the U.S. Air Force. Australia will have no difficulty absorbing this new capability into its military.

 The proposed sale of this equipment and support will not alter the basic military balance in the region.

The prime contractor will be Raytheon Missile System Corporation in Tucson, Arizona. There are no known offset agreements proposed in connection with this potential sale.

Implementation of this proposed sale will not require the assignment of any additional U.S. Government or contractor representatives to Australia.

There will be no adverse impact on U.S. defense readiness as a result of this proposed sale.
This notice of a potential sale is required by law and does not mean the sale has been concluded.

Source: DSCA